Senin, 17 Januari 2011

MENUJU SISTEM EKONOMI PANCASILA: REFORMASI ATAU REVOLUSI

.... intellectuals are at their best when distant from politics and power... only when intellectuals step back from governing institutions will they be able to speak truth to power.... Intellectuals, therefore had to conceive of themselves as cultural worker, responsible not solely for generating ideas but also for ensuring that those ideas wound up in the minds and arguments of a thoughtful audience ang public. (K. Mattson, 2002: 9, 267)



Universities are introduced, without the intellectual spirit. A bureaucracy is introduced without the rigid and widespread adherence to the principal of promotion by merit, efficiency, and a public service attitude. Parliamentary democracy is introduced without the spirit of fair play, honest election, and a genuine commitment to principles. The sciences are introduced without the spirit of enquiry. The incomplete nature of the modernisation process, the substance without the spirit, is the cause of prevailing backwardness of the developing societies. (Alatas, 1977: 78-79)


Pendahuluan

Jika kita berbicara tentang “Meluruskan Jalan Reformasi”, apa artinya? Apanya (dari reformasi) yang telah melenceng? Apakah jalan(nya) reformasi memang berkelok-kelok ataukah pelaksanaan reformasi tidak mengikuti jalan lurus yang telah dibuat dan disepakati? Memang thema “Meluruskan Jalan Reformasi” dapat diartikan kedua-duanya, yaitu kita ingin meluruskan jalannya reformasi yang kenyataannya telah berjalan berkelok-kelok (ke kanan, ke kiri, naik turun), tetapi juga dapat berarti jalan lurus yang seharusnya ditempuh ternyata tidak diikuti. Reformasi pada kenyataannya telah melenceng karena setiap orang/kelompok orang/partai politik telah mengikuti kehendak masing-masing tanpa peduli kehendak orang/kelompok orang/partai politik lain. Ada yang menyatakan reformasi telah “mati suri” atau “mati muda” yang berarti masyarakat Indonesia belum sempat menikmati hasil-hasil positifnya, dan kini mengharapkan munculnya tokoh-tokoh pemimpin baru untuk menggantikan (tokoh-tokoh) reformasi yang telah mati muda itu.



Pertanyaan lain yang cukup mengganggu adalah mengapa para pemimpin yang telah bertekad melaksanakan reformasi dan memperoleh peluang untuk mewujudkan cita-cita reformasi, ternyata “kualitasnya” diragukan masyarakat. Bahkan masyarakat nampak yakin bahwa mereka, para pemimpin tertentu, dikhawatirkan akan “mengkhianati” cita-cita reformasi.

[1] Makalah Seminar Bulanan PUSTEP-UGM, 7 Oktober 2003. versi pertama disampaikan sebagai prasaran Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, UGM 25-27 September 2003.


Reformasi Sistem Ekonomi

Pada tanggal 10 Maret 1998 ketika MPR-RI menyetujui TAP tentang GBHN 1998-2003, Sistem Ekonomi Pancasila disepakati sebagai sistem ekonomi yang sepatutnya diterapkan di Indonesia. Kata sistem ekonomi Pancasila disebut 9 kali dalam GBHN setebal 147 halaman tersebut. Sistem Ekonomi Pancasila ala Orde Baru ini didefinisikan sebagai sistem ekonomi dengan 7 butir “paradigma baru” sebagai berikut:

(1) Terciptanya ketahanan nasional yang kukuh dan tangguh;

(2) Mengandung sikap dan tekad kemandirian dalam diri manusia; keluarga, dan masyarakat Indonesia;

(3) Perekonomian nasional dikembangkan ke arah perekonomian yang berkeadilan dan berdaya saing tinggi;

(4) Demokrasi ekonomi diwujudkan untuk memperkukuh struktur usaha nasional;

(5) Koperasi adalah sakaguru perekonomian nasional, sebagai gerakan dan wadah ekonomi rakyat; koperasi sebagai badan usaha ditujukan pada penguatan dan perkuatan basis usaha;

(6) Kemitraan usaha yang dijiwai semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang saling menguntungkan untuk ditumbuh-kembangkan;

(7) Usaha nasional dikembangkan sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan dalam pasar terkelola, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta nasionalisme yang tinggi.

Yang menarik darik ke-7 “paradigma baru” dalam GBHN tersebut adalah tidak disebut dan dikenalinya masalah ketimpangan ekonomi sebagai akibat konglomerasi, meskipun dalam GBHN 1993 sudah ada konstatasi tentang itu dalam bentuk kekhawatiran akan munculnya “keangkuhan” (dari yang kuat, konglomerat) dan “kecemburuan” (dari yang lemah dan miskin) sosial. Pernyataan tentang bahaya konglomerasi dan konglomerat sebenarnya juga sudah secara tegas diberikan oleh laporan Bank Dunia perwakilan Jakarta tahun 1993.

A source of increasing concern in recent year has been the relatively high concenration of ownership ang market power in the modern business sector in the hands of large business groups, or conglomerates..... The dominance of conglomerates raises issues of both equity (equal access to market opportunities) and efficiency (removal of barriers to competition).[2]



[2] World Bank, 1993, Indonesia: Sustaining Development, Report No. 11373. Indo.

Mengapa konglomerasi yang telah merupakan sumber kekisruhan sosial-ekonomi yang serius, dihindari penyebutannya dalam GBHN? Sebabnya adalah karena para konglomerat termasuk putra-putri para pemimpin nasional, telah menguasai panggung politik nasional. Maka para konglomerat ini dengan segala cara berusaha membela posisi tawarnya ketika berhadapan dengan kepentingan kelompok ekonomi lemah yang disebut ekonomi rakyat. Dalam isu konglomerat vs ekonomi rakyat ini para konglomerat dibela oleh kelompok teknokrat yang tidak ingin negara kehilangan sumber ”pertumbuhan ekonomi nasional” andalan. Memang ada slogan peningkatan kemitraan dan upaya-upaya membuat perekonomian lebih lebih adil melalui pengembangan demokrasi ekonomi, dan usaha koperasi dinyatakan sebagai sakaguru perekonomian nasional. Tetapi selama politik ekonomi tidak memihak ekonomi rakyat yang menjadi terjepit, bahkan politik ekonomi itu terang-terangan berpihak pada konglomerat, hasilnya adalah makin melebarnya jurang kaya-miskin, dan ekonomi rakyat makin terpinggirkan.


Krisis Moneter Yang “Menghancurkan”

Dan Allah telah membuat suatu perumpaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman dan tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah-ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (An Nahl: 112)



Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri sehancur-hancurnya (Al Israa: 16).

Krisis moneter Juli 1997 yang mencapai puncaknya bulan Januari 1998 jelas merupakan “cobaan Tuhan” atas bangsa Indonesia, karena meskipun berkali-klai diingatkan tentang bahaya knglomerasi, tokh para pemimpin bangsa Indonesia selalu meremehkan dengan alasan, “menurut teori ekonomi, konglomerat itulah satu-satunya andalan kemajuan ekonomi bangsa”. Maka krisis moneter adalah “cobaan” yang lebih berat lagi kadarnya yang menghancurkan ekonomi sektor modern/konglomerat supaya bangsa indonesia menjadi sadar. Terbukti kemudian pemerintah Indonesia yang dikuasai pemikiran-pemikiran ekonomi Klasik-Neoklasik yang kapitalistik liberal, tetap saja bersikukuh (ndableg). Konglomerat yang rontok mati-matian hendak diselamatkan oleh pemerintah, mula-mula melalui dana BLBI (yang kini sudah ditutupbukukan), dan kemudian melalui dana rekapitalisasi perbankan (Rp. 650 trilyun) berupa obligasi negara yang bunganya menjadi tanggungan APBN.

Inilah kisah tragis ekonomi Indonesia yang ingin meniru begitu saja sistem ekonomi kapitalis liberal ala Amerika tanpa mempedulikan dampak negatifnya pada ekonomi rakyat. Bahwa sistem ekonomi kapitalis liberal ini tetap dibela mati-matian oleh para teknokrat (yang senior maupun yang yunior), terbukti dari penolakan tegas para teknokrat terhadap sistem ekonomi kerakyatan meskipun sistem ekonomi ini telah dikukuhkan dalam GBHN hasil sidang istimewa MPR 1998, TAP tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, dan UU No. 25/2000 tentang Propenas. Pada tahun 2001 (Maret-Mei) 7 orang pakar ekonomi “bergulat” tentang harus tidaknya asas kekeluargaan digusur dari pasal 33 UUD 1945. Meskipun akhirnya MPR dalam ST 2002 mempertahankannya secara utuh, tetapi ditambahkannya ayat 4 (baru) telah benar-benar mencemari kewibawaan asas kekeluargaan, lebih-lebih dengan hilangnya kata koperasi dan demokrasi ekonomi, karena dihapuskannya seluruh penjelasan UUD 1945.


Sistem Ekonomi yang “Eksploitatif”

Sejak otonomi daerah dilaksanakan mulai Januari 2001 terjadilah semacam “perebutan” rezki antara pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah, dan antara pemerintah-pemerintah daerah (khususnya Kabupaten/kota) yang bertetangga. Karena dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah adalah Perda-perda di samping UU No. 22 dan No. 25/1999, maka pemerintah-pemerintah daerah bersama DPRD menyusun berbagai Perda, yang jika akhirnya menimbulkan konflik dengan kepentingan pemerintah pusat, pemerintah pusat dhi Departemen Dalam Negeri “menegur” Pemda yang bersangkutan atau ada daerah-daerah yang secara tegas diminta untuk mencabut “Perda-perda bermasalah”.

Banyak daerah, terutama yang kaya sumber daya alam, di masa lalu merasa disedot kekayaannya oleh pemerintah pusat, dan investor dari luar. Nilai dan tingkat “eksploitasi” ini dapat ditaksir. Salah satu cara menghitung atau menaksirnya adalah dengan membandingkan nilai PDRB (per kapita) dengan nilai pengeluaran konsumsi per kapita. Dengan asumsi tidak ada tabungan (saving), jika nilai PDRB per kapita jauh lebih tinggi dibanding nilai pengeluaran konsumsi, maka berarti sebagian besar PDRB tidak dinikmati oleh penduduk setempat. Dengan perkataan lain sebagian PDRB memang “dikirimkan” kepada pemiliknya yaitu investor dari luar daerah, yang bisa beralamat di Jakarta atau di luar negeri.

“Dosa Kolektif” Bangsa

Jika kita yakin bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan ekonomi harus dilaksanakan dalam bingkai “budaya bangsa Indoensia”, maka harus tidak ada keraguan apapun bahwa contoh-contoh atau model-model pembangunan bangsa-bangsa lain, yang pasti mengacu pada sistem nilai dan budaya berbeda., harus tidak kita tiru dan tidak kita terapkan begitu saja sebagai sistemi pembangunan nasional kita. Sistem adalah kata lain dari aturan main. Maka tidak mungkin aturan main yang dibuat dan cocok untuk suatu bangsa lain dapat dipakai dan diterapkan begitu saja pada bangsa Indonesia. Ada pandangan dan sikap “keblinger” yang sering diucapkan dengan ringan oleh ekonom arus utama, bahwa dalam sistem perekonomian global, jika kita tidak dapat mengalahkan mereka (dalam persaingan) lebih baik kita “bergabung” saja dengan mereka (if we cannot beat them, join them). Bukankah ini sikap yang sangat tidak sejalan dengan semangat para pejuang kemerdekaan dan Pendiri Negara (PN) sebagaimana tercantum pada alenia 1 dan 3 Pembukaan UUD 1945? Mengapa kita setelah liberalisasi dan globalisasi abad 20 dan awal abad 21 menjadi tidak percaya diri? Mengapa kita begitu takut diisolasi ekonomi dunia kalau tidak melaksanakan “komitmen” AFTA dan WTO, meskipun kita sadar benar bahwa pelaksanaan komitmen AFTA dan WTO secara apa adanya (lurus dan konsekuen) pasti merugikan petani-petani kita?

Mengubah mindset bangsa yang sudah terlanjur salah kaprah memang tidak mudah, lebih-lebih setelah ekonomi Indonesia menjadi sangat tergantung pada utang luar negeri dan modal luar negeri yang sangat besar. Jika kita sepakat bahwa utang-utang yang sudah sangat besar itulah yang mengakibatkan kita tidak lagi memiliki rasa percaya diri sebagai bangsa, maka tidaklah masuk akal jika kita tidak segera melepaskan diri dari ketergantungan pada utang-utang luar negeri tersebut. “Jangan besar pasak daripada tiang”! Jika penerimaan pajak negara kita tahun 2003 hanya Rp 270 trilyun, mengapa pemerintah harus memaksakan diri mengeluarkan belanja yang jauh lebih besar dari itu, sampai Rp 370 trilyun? Inilah contoh mindset yang harus diubah. Memang benar kewajiban bungan obligasi rekapitalisasi perbankan harus dibayar. Tetapi mengapa bank-bank milik konglomerat yang sekarat harus diselamatkan dengan uang rakyat? Jika teknokrat pernah berargumentasi bahwa dalam era deregulasi dan liberalisasi ekonomi, perusahaan atau pelaku-pelaku ekonomi yang tidak efisien harus diselamatkan dengan uang rakyat, dengan biaya berapapun (at all cost). Inilah contoh penggunaan teori ekonomi Neo-klasik (Barat, Amerika) yang ternyata selalu memihak pada pemilik modal dan tidak pernah memihak pada rakyat yang miskin. Ini harus dirombak total.

Kiranya dapat kita simpulkan bahwa kegagalan Indonesia membangun ekonomi yang berkeadilan (Ekonomi Pancasila) disebabkan oleh kegagalan para budayawan kita mempengaruhi sukma pembangunan ekonomi kita yang telah terlalu berat ditekan kan pada pembangunan materi. Jika diijinkan menyebut nama sebagai ilustrasi, itulah “kegagalan” seorang Soedjatmoko mempengaruhi Widjojo Nitisastro dalam merancang dan merencanakan pembangunan ekonomi yang bermoral Pancasila, karena Soedjatmoko (alm) pernah diangkat sebagai penasehat Ketua Bappenas bidang sosial budaya. Jika kita ingat perencana ekonomi pakistan Mahbub ul Haq “mengaku dosa” karena telah membantu menjerumuskan ekonomi Pakistan pada ketimpangan yang tajam antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur sehingga pecah menjadi dua negara (Pakistan sekarang dan Bangladesh), pada tahun 1971, maka krismon 1997 yang telah “menghancurkan” ekonomi konglomerat, kiranya dapat diyakini bahwa krismon tersebut merupakan “peringatan keras” Tuhan atas kekeliruan atau “dosa kolektif” bangsa Indonesia (An Nahl: 112 dan Al Israa: 16).

Reformasi yang kini “membingungkan” masyarakat karena tidak mencapai tujuan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesi, adalah karena bangsa ini tidak pernah berani menunjuk kekeliruan-kekeliruan bersama dan mengakui “dosa-dosa kolektif” yang telah diperbuat. Maka hukuman atai percobaan Tuhan telah diberlakukan, dan kita sudah sepantasnya mengakui dan memperhatikan “dosa-dosa” tersebut dengan sungguh-sungguh.


Aspek Ekonomi Kerusakan Bangsa

Jika Ahmad Syafii Ma’arif (2003) dan Franz Magnis-Suseno (2003) berbicara keras tentang kerusakan bangsa yang hampir sempurna, sehingga tinggal tunggu waktu dibawa masuk jurang, maka dilihat dalam perspektif ekonomi diartikan bahwa krisis ekonomi dewasa ini sudah amat parah, yang jika dibiarkan pasti akan mengakibatkan kebangkrutan perekonomian nasional. Meskipun orang tidak pernah lupa menyebutkan bahwa krisis yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini sudah menjadi multidimensi, tokh yang paling sering disebutkan di media massa adalah krisis ekonomi, bukan krisis politik, krisis hukum, atau krisis moral. Sebabnya tidak lain karena selama 3 dekade Orde Baru, pembangunan ekonomi sudah menjadi “agama”, dengan peranan yang amat dominan dari (perusahaan-perusahaan) konglomerat. Kini ketika konglomerat sudah rontok, yang sulit dibayangkan untuk bangkit kembali karen autang yang sangat besar, maka ekonomi secara keseluruhan dikatakan dalam keadaan krisis parah.

Bahwa ekonomi nasional dianggap masih dalam kondisi krisis, faktor-faktornya antara lain adalah kurs dollar yang masih 3 kali lebih tinggi dibanding sebelum krisis moneter Juli 1998, bank-bank masih belum mengucurkan kredit ke sektor riil, dan pemerintah terperangkap dalam beban utang dalam dan luar negeri yang sangat berat. Benarkah faktor-faktor ini cukup? Mengapa inflasi yang sudah benar-benar terkendali, dan pertumbuhan ekonomi yang sudah positif ( 3-4% pertahun) tidak dianggap sebagai faktor-faktor yang seharusnya tidak lagi menggambarkan kondisi krisis ekonomi?

Memang pakar-pakar ekonomi pada umumnya masih mampu berargumentasi dan menunjuk belum adanya investasi terutama investasi asing sebagai salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi rendah. “Jika pertumbuhan ekonomi hanya ditopang oleh konsumsi maka pertumbuhan ekonomi tidak akan berkelanjutan”, kata mereka.

Diagnosisi ekonomi yang bersifat pesimistik masih jauh lebih kuat dibanding diagnosisi optimistik, karena pada umumnya pakar-pakar ekonomi lebih banyak menggunakan data-data makro sekunder dan tersier di bidang keuangan. Sebaliknya data-data mikro sektor ekonomi rakyat, yang tidak tercatat dalam statistik, tidak pernah masuk dalam perhitungan. Padahal terbukti ekonomi rakyat dimanapun di daerah-daerah benar-benar sudah bangkit, tidak sekedar menggeliat. Usaha-usaha ekonomi rakyat yang disebut sebagai UKM (Usaha Kecil Menengah) berkembang di mana-mana dengan pendanaan mandiri atau melalui dana-dana keuangan mikro seperti pegadaian, koperasi, atau lembaga-lembaga keuangan mikro “informal” di perdesaan. Misalnya selama 1995-2002 kredit yang disalurkan Perum pegadaian meningkat dengan 5,6 kali (560%), dan jumlah orang yang menggadaikan (nasabah) naik 368%. Di Yogyakarta, anggota KOSUDGAMA (Koperasi Serba Usaha Dosen-dosen Gadjah Mada) yang kini beranggotakan 5332 orang (74% diantaranya anggota luar biasa, bukan dosen UGM), anggotanya meningkat lebih dari 5 kali lipat selama periode krisis (1998-2002), dengan nilai pinjaman meningkat 11 kali lipat (1116%) dari Rp 1,04 milyar menjadi Rp 11, 57 milyar. Satu Baitul Maal (BMT Beringharjo) di kota Yogyakarta dalam periode relatif singkat (1995-2002) telah meningkat omset pinjamannya dari 50,9 juta menjadi Rp 5,2 milyar dengan anggota naik dari 393 menjadi 1333

Dapat disimpulkan bahwa kondisi “amat gawat” yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini tidak terletak dalam bidang ekonomi khususnya ekonomi rakyat, tetapi dalam bidang politik, hukum, dan moral. Korupsi yang makin merajalela yang “menyebar” dari pusat ke daerah-daerah bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah bukanlah “krisis ekonomi” tetapi krisis moral, dan “kerusakan bangsa” yang diklasifikasikan sebagai hampir sempurna oleh Syafii Ma’arif adalah kerusakan dalam bidang tatakrama atau etika politik, bukan kerusakan ekonomi. Disinilah kekeliruan fatal pakar-pakar ekonomi makro yang sejak krismon 1997 menyatakan ekonomi Indonesia telah “mati secara aneh dan tiba-tiba” (the strange and sudden death of a tiger)[3]. Jika ekonomi Indonesia telah diibaratkan sebagai harimau (tiger) yang sudah mati sejak krismon 1997-1998, lalu apa yang terjadi dengan orang-orangnya? Apakah mereka (bangsa Indonesia) juga ikut mati? Inilah tidak realistisnya analisis ekonom yang memberikan konsep-konsep ekonomi abstrak dari manusia-manusia ekonomi (homo ekonomikus) tanpa merasa perlu membumikannya.

[3] Hal Hill dalam buku pertama tahun 1993 memuji-muji ekonomi Indonesia sebagai The Southeast Asia’s emerging giant, tetapi kemudian pada tahun 1999 menyebutnya telah mati, the strange and sudden death of a tiger.

Kerusakan ekonomi bangsa memang hampir sempurna, tetapi bukan kerusakan ekonomi rakyat. Yang rusak adalah ekonomi konglomerat yang pada masa-masa jayanya terlalu mengandalkan pada modal asing yang murah, tetapi setelah terjadi apresiasi dolar 6 kali lipat secara tiba-tiba maka konglomerat-konglomerat tersebut telah benar-benar hancur berkeping-keping. Apakah kondisi ekonomi konglomerasi seperti ini akan kita pulihkan? Pasti tidak. Indonesia sebaiknya tidak usah berbicara tentang pemulihan ekonomi (economic recovery). Ekonomi siapa yang akan dipulihkan?

Demikian, berbeda dengan pandangan pakar-pakar ekonomi arus utama (main stream), kerusakan ekonomi yang dialami sektor modern/ konglomerat tidak perlu kita ratapi, dan kita tidak perlu mati-matian memulihkan kondisi ekonomi pra-krisis yang sangat timpang. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis, menunjuk pada asas ke-4 Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dimana ekonomi rakyat mendapat dukungan pemihakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Bahwa sejauh ini pakar-pakar ekonomi arus utama menolak konsep ekonomi kerakyatan, bahkan juga ekonomi kekeluargaan, adalah karena mereka secara a priopri menganggap ekonomi kerakyatan bukan sistem ekonomi pasar, tetapi dituduh sebagai sistem ekonomi “sosialis-komunis” ala Orde Lama 1959-1966. Pandangan dan pemihakan mereka pada konglomerat yang liberal-kapitalistik memang amat sulit diubah lebih-lebih setelah (istilah mereka) “Uni Sovyet pun kapok dengan sosialisme, dan RRC juga sudah menjadi kapitalis”. Sudah pasti mereka “keblinger” karena paham sosialisme tidak pernah mati, dan ekonomi RRC tumbuh cepat bukan karena meninggalkan paham sosialisme tetapi karena amat berkembangnya ekonomi rakyat. Ekonomi Indonesia akan tumbuh cepat seperti RRC jika mampu mengalahkan virus korupsi yang tumbuh subur sejak awal gerakan reformasi yang telah benar-benar melenceng.


Kembali ke Ekonomi Pancasila

Pengalaman pahit krismon 1997-1998 meyakinkan kita semua betapa besar arti perekonomian nasional yang benar-benar mandiri. Ekonomi mandiri adalah ekonomi yang, meskipun tumbuh dengan laju relatif rendah, tetapi dalam jangka panjang terjaga keberlanjutannya. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi etik yang pernah didambakan oleh (alm) Prof. Ace Partadiredja (1981) yaitu sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai budaya dan ideologi bangsa Indonesia ialah Pancasila.

Harapan saya yang tertinggi adalah munculnya suatu ilmu ekonomi yang tidak memberikan kesan sebagai ilmu yang mengajarkan keserakahan atas alam benda, dan tidak memberikan kesan sebagai suatu ilmu yang mekanistik, melainkan sebagai ilmu yang tidak hanya model-modelnya relevan tapi juga model-model itu didasarkan pada asumsi yang realistik, etik, dan berwajah kemanusiaan yang dijiwai oleh etika, ekonomika etik (ethical economics) sebagaimana ekonomi politik pada saat dilahirkannya pada abad 18. Mungkin ilmu baru itu dapat dinamai Ekonomi Pancasila.[4]

[4] Ace Partadiredja, Ekonomika Etik, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Sosial, Gadjah Mada Press, 2000: 392.

Pemerintah Orde Baru, yang “bersumpah” melaksanakan pancasila dan UUD 1945 “secara murni dan konsekuen”, bertekad untuk mewujudkan kemerataan pembangunan dan keadilan sosial. Tetapi keinginan ini tidak pernah terwujud karena strategi pembangunan dan politik ekonomi, sebagaimana berulang-ulang dikritik oleh Bung Hatta, didasrkan pada liberalisme sehingga seperti biasa, persaingan pasar yang liberal selalu dimenangkan oleh yang kuat (konglomerat) dan melunglaikan yang lemah. Pada tahun 1981 kami menulis:

Ekonomi Indonesia kelihatannya sehat dari luar tetapi pemeriksaan yang mendalam menunjukkan ia sedang sakit kanker, dus penyakit yang sangat berbahaya, obatnya hampir tidak ada. Dalam bahasa ekonomi kelompok ini mengatakan sistem ekonomi Indonesia sekarang ini salah. Ia harus diubah secara fundamental dengan menerapkan sistem ekonomi Pancasila, bukan sistem ekonomi kapitalis liberal.[5]

[5] Mubyarto, Ekonomi Indonesia Dewasa Ini: Berbagai Pertanyaan Ekonom dan Orang Awam, Kompas (ed) Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia, Gramedia, 1982, hl 567.

Pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1981 yang “menenggelamkan” pemikiran ekonomi Pancasila UGM mengatakan antara lain bahwa sistem ekonomi Pancasila “sudah ada” di dalam ideologi Pancasila dan pasal 33 UUD 1945, dan “tidak usah dicari-cari apalagi dengan teori-teori dari luar Indonesia”. Terbukti bahwa 16 tahun sesudah pernyataan tersebut keinginan untuk mewujudkan cita-cita ekonomi Pancasila tidak kesampaian, bahkan nampak makin menjauh sehingga berakhir dengan meledaknya bom waktu krismon tahun 1997. Maka pada sidang-sidang BP-MPR 1997-1998 pemikir-pemikir “kesiangan” berusaha merumuskan konsep-konsep sistem ekonomi Pancasila dengan menyebutkan kata ekonomi Pancasila sebanyak 9 kali dalam GBHN 1998, tetapi dengan menghapus kata-kata ekonomi rakyat yang telah disebut 25 kali dalam GBHN 1993. Pemikiran kembali ke Ekonomi Pancasila yang tertunda 16 tahun ini (1981-1997) terbukti sangat terlambat, karena jurang kaya miskin sudah menganga terlalu lebar. Maka tercemarlah nama Pancasila dan ekonomi Pancasila, dan pada awal reformasi sampai sekarang orang tetap enggan dan cenderung “alergi” pada istilah ekonomi Pancasila. Orang beranggapan (secara keliru) bahwa munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang bermuara pada krismon adalah justru karena Indonesia telah “melaksanakan” ekonomi Pancasila. Kesalahkaprahan ini harus diluruskan melalui kajian-kajian serius.


Penutup: Revolusi Gagasan Menuju Ekonomi Pancasila

Tanggal 12 Agustus 2002 UGM mendirikan PUSTEP (Pusat Studi Ekonomi Pancasila) yang kemudian disambut pembentukan Komisi Ad Hoc Kajian Ekonomi Pancasila pada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Pendirian PUSTEP-UGM ini kemudian diikuti pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) di Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa tanggal 16 Agustus 2003 semuanya berkehendak menyumbang teori-teori dan ilmu ekonomi (asli) Indonesia yang benar-benar memberi manfaat pada masyarakat/bangsa Indonesia khususnya wong cilik.

Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi baru yang masih harus diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini “dianut” bangsa Indonesia. Bibit-bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat perdesaan dalam bentuk usaha-usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Seorang pengemudi ‘speedboat’ Zamrani (26th) yang hanya tamat SD 6 tahun menegaskan “Ekonomi Pancasila dalam Aksi” di dalam pelayanan jasa transpor di Sungai Mahakam Kaltim, yaitu di antara 79 ‘speed’ dan 60 taksi yang semuanya dimiliki warga Kota Bangun. ‘Speed’ hanya melayani penumpang Melak-Kota Bangun pulang-pergi (Kutai Barat dan Kutai Kartanegara), sedangkan taksi Kijang dan lain-lain kendaraan “mini-bus” untuk jurusan Kota Bangun-Tenggarong-Samarinda, dan Balikpapan. “Bagi-bagi rezeki” ala ekonomi rakyat di Kota Bangun inilah bukti nyata telah diterapkannya asas-asas ekonomi Pancasila di Kalimantan Timur.

Adapun mengapa praktek-praktek kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem (aturan main) ekonomi Pancasila ini tersendat-sendat, alasannya jelas karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan berpihak pada konglomerat. Ketika terjadi krismon 1997-1998, meskipun keberpihakan pemerintah pada konglomerat belum hilang tetapi gerakan ekonomi kerakyatan yang dipicu semangat reformasi memberikan iklim segar pada berkembangnya sistem ekonomi Pancasila yang berpihak pada ekonomi rakyat.

Pembentukan PUSTEP UGM tepat waktu untuk mengisi kevakuman sistem ekonomi nasional, ketika sistem ekonomi kapitalis liberal di Indonesia sedang digugat, dan sistem ekonomi kerakyatan sedang mencari bentuknya yang tepat dan operasional. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan dan tegas-tegas ditolak oleh teknokrat “keblinger”, yang begitu silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal dari Barat (Amerika). PUSTEP UGM bertekad melakukan kajian-kajian kehidupan riil (real life) sehingga dapat membakukan ilmu ekonomi tentang kehidupan riil (real-life economics) dari masyarakat Indonesia/bangsa Indonesia.

Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, ... janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarkan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila (Soekarno, 1 Juni 1945).

Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno di dalam Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, mengibaratkan bangsa Indonesia sudah mendekati “jurang kehancuran”, maka reformasi lebih-lebih yang tambal-sulam jelas tidak akan memadai. “kapal” Indonesia harus dibalikkan arahnya. Itulah revolusi bukan sekedar reformasi.

Kompleksitas krisi multidimensi sekarang dan beratnya beban kesulitan mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan besar dan inisiatif tingkat tinggi. Tindakan besar yang dimaksud adalah suatu tindakan fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi, atau bahkan perang. Justru inilah suatu bentuk nyata “jihad akbar” yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan sujektivisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar walaupun pahit karena bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok.[6]



[6] Nurcholis Madjid, Meluruskan Jalan Reformasi: Perpektif Ideologi dan Moral, Seminar UGM, 25-27 September 2003.



7 Oktober 2003
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini