Selasa, 18 Januari 2011

Indonesia Terperangkap Neolib

Ichsanuddin Noorsy
Pengamat Ekonomi

Rabu, 3 Juni 2009
Menolak tudingan Indonesia menerapkan ekonomi neoliberal mudah dikatakan. Tapi, penudingnya mudah menyampaikan bukti, misalnya melalui UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal. UU ini menerapkan asas nondiskriminasi antara pelaku usaha asing dan nasional, membebaskan lalu lintas modal dengan segala konsekuensinya, menerapkan nilai tukar mengambang bebas dan lalu lintas devisa bebas, dan sebagainya.

Bukti lain, misalnya, pinjaman siaga dari Bank Dunia, penjualan global medium term notes, pinjaman dari ADB, meliberalkan sektor energi dan industri pertanian, termasuk membenarkan ekspor rotan mentah sehingga banyak perajin rotan yang gulung tikar.

Berdasarkan perjanjian-perjanjian utang luar negeri dengan mitra lembaga-lembaga multilateral, saya konsisten bahwa siapa pun presidennya: neoliberal pemenangnya. Kasus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak era Megawati hingga kenaikan BBM pada Mei 2008, adalah bukti bahwa Indonesia berhasil didikte oleh pasar energi.

Sektor-sektor strategis memang diminta tidak lagi disediakan pemerintah. Neoliberal mengharuskan pemerintah cukup menjadi regulator. Sementara kepemilikan dan pengelolaan berada di tangan swasta.

Kata kaum neolib, yang penting asas manfaat. Buat apa memiliki, tapi tidak bermanfaat, tukas mereka. Kaum neolib enggan melihat BUMN Singapura, RRC, dan Venezuela. Dengan mekanisme pasar, kesejahteraan akan terjadi, tegas keyakinan kaum fundamentalis pasar.

Indonesia sudah terperangkap dalam perjanjian yang mengharuskan berlakunya pasar bebas, liberalnya industri keuangan, dan kewajiban meminimkan peranan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik. Jadi, kemasannya ekonomi kerakyatan, namun berisi ekonomi neoliberal. Konteksnya ekonomi kerakyatan, tapi jangan tanya isi dan konsistensinya dengan gagasan demokrasi ekonomi menurut konstitusi.

Tanpa komitmen pada cita-cita bangsa, keberanian menegakkan harkat, kecerdasan mengelola dan mengantipasi situasi, ketegasan mengambil kebijakan yang benar dan baik, dan kejujuran pada rakyat domestik, kita akan terus berkubang pada miskinnya harga diri bangsa dan negara. Karena itu, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 seharusnya memberikan harapan baru dan mengembuskan angin segar kedaulatan ekonomi. Bukan sekadar pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tidak berkualitas.

Tanpa itu, seperti John Perkins dan Michael Hudson mengatakan, demokrasi politik ditentukan oleh kekuasaan korporasi. Kaum korporasi selalu menjaga dan memelihara posisinya sebagai mitra sejajar dengan pemerintah.

Posisi rakyat, secara normatif konstitusional, adalah pemilik kedaulatan, tapi arahnya ditentukan oleh kekuatan modal. Sehingga, kedaulatan rakyat di bidang politik adalah semu. Tanpa demokrasi ekonomi, kata Bung Karno dan Moh Hatta, kita belum merdeka.

Ke depan, kita butuh kaum patriotis yang berani membela harkat dan martabat bangsa, seperti yang dilakukan Presiden AS Obama, PM Prancis Nicolas Sarkozy, PM Jerman Angela Merkel, PM Inggris Gordon Brown, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, atau Presiden Venezuela Hugo Chavez.***

Senin, 17 Januari 2011

GLOBALISME, POPULISME, DAN EKONOMI PANCASILA

The success of Indonesia’s economic policies confirmed the idea that, as much as possible, economic policies should be insulated from undue political influence. Moreover, experience has demonstrated that alternative schools of economic policy making, including communism, socialism, and even “supply side economics”, in the long run have all failed. In the meantime the field of neo-classical economics is progressing steadily. It is here that policy making should seek guidance in creating economic policies (Radius Prawiro, 1998:335)

In this precarious state, the government took the bold move of removing all restrictions on the flow of capital into and out of the country. Indonesia’s laws governing the flow of capital thus became some of the most liberal in the world, more so even than those of many of the most developed countries (Radius Prawiro, 1998:290).

Neo-Liberalism, in its extreme or revised form, presents us with a view of the world in which there are only two choices, an economy organized by markets or an economy organized by a dictatorial –or at best inept and inefficient- statist bureaucracy (MacEwan 1999:11)


Pendahuluan

Globalisasi mempunyai 2 pengertian pertama, sebagai deskripsi/definisi yaitu proses menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal (borderless market), dan kedua, sebagai “obat kuat” (prescription) menjadikan ekonomi “lebih efisien” dan “lebih sehat” menuju kemajuan masyarakat dunia. Dengan dua pengertian ini jelas bahwa menurut para pendukung globalisasi, atau bagi para penganut paham globalisme, “tidak ada pilihan” bagi setiap negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan sangat pesat. [1]

[1] Harian Kompas, Selasa 28 Januari memuat 2 artikel, pertama berjudul Dua Globalisasi oleh B. Herry Priyono dan kedua, Another world is Possible oleh A. Prasetyantoko

Benarkah pilihannya hanya dua sebagaimana dikemukakan paham Neo-liberalisme? Benarkah tak ada hak sama sekali bagi setiap negara untuk “berbeda” dengan menerapkan sistem ekonomi yang sesuai sistem nilai dan budaya negara-negara bersangkutan? Arthur MacEwan membantah keras pandangan “tidak ada pilihan” ini dengan secara tegas menyatakan:

Contrary to the claims of its proponents, there are alternatives to the neo-liberalism course, and these alternatives are far preferable in term of immediate and long term consequences (MacEwan 1999:8)

Herry Priyono dan Prasetyantoko dalam artikel di Kompas 28 Januari 2003 sepakat dengan MacEwan bahwa alternatif itu memang ada. Kami sendiri memberi judul buku kami bersama Daniel W. Bromley “A Development Alternative for Indonesia” untuk menegaskan adanya alternatif strategi bagi pembangunan Indonesia.

Lebih tegas lagi pernyataan James Petra dan Henry Veltmeyer dalam Globalization Unmasked bahwa “globalization is neither inevitable nor necessary” (Petras & Veltmeyer 2001:12). Artinya meskipun kekuatan globalisasi nampak “luar biasa”, tetap ada peluang bagi suatu negara seperti RC, India, atau Indonesia, untuk membuat aturan-aturan nasional yang dapat “membatasi” dan mengendalikan keserakahan globalisasi sehingga tidak merugikan kepentingan nasional negara yang bersangkutan.


Globalisasi vs Populisme

Tiga arus pemikiran pembangunan sejak Indonesia merdeka adalah nasionalisme negara, pragmatisme-liberalisme, dan kerakyatan/ populisme.[2] Pada tahap awal kemerdekaan, nasionalisme negara sangat kuat karena ada semangat besar mengubah perekonomian dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Tetapi setelah ekonomi komando kebablasan (1959 – 1966) keinginan melaksanakan demokrasi ekonomi yang kemudian juga kebablasan hanya dapat dikendalikan oleh menguatnya nasionalisme negara setelah Bonansa Minyak (1973 – 1980) membuat negara/pemerintah menguasai dana-dana pembangunan sangat besar untuk membiayai proyek-proyek strategis.

[2] Chalmers, Ian & Vedi R. Hadiz., 1997, The Politics of Economic Development in Indonesia, Routledge, London-New York.

Arus pemikiran ke-3, kerakyatan/populisme, yang sebenarnya diamanatkan kuat sekali dalam pasal 33 UUD 1945 (dan pasal 33 UUD 2002), dan ideologi Pancasila, selalu kurang bergema karena masih lemahnya LSM di Indonesia dan dominannya teknokrat ekonomi sejak Orde Baru. Sejak reformasi yang berusaha “menghancurkan” Orde Baru, yang belum dapat dikatakan berhasil, arus pemikiran kerakyatan/ populisme makin kuat dan secara eksplisit ditegaskan dalam Tap-Tap MPR dan UU tentang Propenas, yaitu sistem ekonomi kerakyatan.

Teknokrat ekonomi yang pada awal Orde Baru masih berjiwa kerakyatan/ populis dengan membela dan memihak Pancasila dan pasal 33 UUD 1945 seperti Emil Salim, yang pada tahun 1966 menulis artikel “Membina Ekonomi Pancasila”, ternyata kemudian tunduk pada paham liberalisme, lebih-lebih sejak menguatnya paham globalisasi pada tahun delapan puluhan. Tokoh-tokoh senior dari teknokrat ekonomi seperti Prof. Moh. Sadli selalu menyatakan ekonom-ekonom populis “tidak berpikir realistis” dan “tidak ilmiah”, dan pemikiran Ekonomi Pancasila dari sejumlah ekonom Universitas Gadjah Mada dikritik “membawa ekonomi surga ke dunia”.

Marilah kita bekerja dengan realitas yang ada. Suara-suara yang menyatakan kapok berhubungan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) adalah suara-suara yang tidak memahami kenyataan. Justru bangsa ini seharusnya malah bersyukur karena disaat-saat krisis ini masih ada IMF yang mau mengulurkan bantuan dan memberi utang. Sulit dibayangkan apa jadinya krisis ekonomi ini tanpa kehadiran bantuan IMF. [3]

[3] Moh. Sadli, “Sedang Terbatuk hingga Hidden Economy”, Kompas, Minggu 19 Januari 2003, hal. 31.

Pukulan amat telak terhadap paham kerakyatan/populisme terjadi pada tanggal 12 Januari 2003, dilontarkan oleh Presiden Republik Indonesia sendiri yang membela kebijakan menaikkan harga-harga BBM, tarif dasar listrik, dan telepon, sebagai kebijakan tidak populis (tidak memihak rakyat), tetapi “konstruktif” dalam jangka panjang. Sulit dipahami seorang Presiden secara terang-terangan menyatakan tidak memihak rakyatnya. Kebijakan yang demikian jelas mewakili arus pemikiran liberalisme dan globalisme yang bertabrakan langsung dengan arus pemikiran nasionalisme-negara maupun kerakyatan/populisme.


Hikmah Krisis Moneter

Orang Indonesia selalu berhasil menyatakan “untung” atas berbagai musibah. Maka, adakah alasan orang menyatakan “untung ada krismon”? Ternyata dalam segala kesusahan menghadapi globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi, bahkan termasuk meledaknya “bom Bali”, orang Indonesia masih mampu menyebutkan aspek keuntungannya. Seorang rekan ekonom dari AS menulis “A less globalized world might be better for Indonesia”! Jadi tanpa Indonesia susah-susah melawan serangan dahsyat globalisasi, krismon dan Bom Bali telah membantu Indonesia “mengusir atau mengurangi tekanan globalisasi” yang kenyataannya memang lebih merugikan ketimbang menguntungkan ekonomi Indonesia. Menghadapi kekuatan-kekuatan “anti globalisasi” ini para pendukung globalisasi berusaha dan berhasil mengundang IMF untuk memperkuat barisan. Kini yang terjadi di Indonesia adalah pergulatan (ilmiah dan ideologis) antara dua arus pemikiran yaitu mereka yang mendukung dan yang menentang globalisasi.

Kesimpulan kita di Indonesia tidak bisa lain, “jangan-jangan” krismon dan Bom Bali merupakan “Petunjuk Tuhan” bahwa globalisasi dan liberalisasi yang jelas-jelas merugikan sebagian besar rakyat Indonesia kenyataannya memang telah berjalan terlalu cepat sehingga “atas kehendak Tuhan”, krismon dan bom Bali “diturunkan” untuk memperingatkannya dan mengeremnya.

The region and the entire world need to carefully think through whether globalization has proceeded at too fast a pace for national societies, particularly developing ones, to make needed adjustments without undue dislocation and economic pain. (Morrison & Hadi Soesastro. 1998:23)

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Q.S. 17 Al Israa’: 16)
Liberalisasi Perbankan 1983-88

Jika kita baca dan renungkan kembali kekagetan Radius Prawiro tentang telah menjadi terlalu liberalnya peraturan masuk dan keluar modal ke dan dari Indonesia sejak pertengahan delapan puluhan, ketika yang bersangkutan menjabat Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Menko Ekuin, maka memang jelas telah terjadi gerakan tak terkendali dari liberalisasi dan globalisasi di negara kita. Jika diingat bahwa jumlah bank di Indonesia sebelum Pakto 88 hanya sekitar 100 buah, yang meningkat lebih 2 kali menjadi 240 bank pada tahun 1995, maka pengurangan jumlah Bank menjadi kurang dari 100 bank dewasa ini hanya mengkonfirmasi telah terjadi pertumbuhan jumlah bank yang kebablasan tersebut. Memang tepat yang pernah dikatakan David Cole dan Betty Slade (Building a Modern Financial System, 1996) bahwa sebenarnya di Indonesia bukannya terlalu banyak Bank, tetapi “terlalu banyak Bank yang tidak diawasi perkembangannya”. Ini berarti bahwa ketika banyak bank mengalami kesulitan likuiditas pada saat-saat awal krismon, kesalahan tidak sepenuhnya dapat ditimpakan kepada bank-bank itu tetapi juga pada Bank Indonesia (dan Departemen Keuangan) yang telah membiarkan perbankan berkembang “liar” tanpa pengawasan. Itulah sebabnya mengapa pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan pemberian BLBI yang “royal” itu untuk “menebus dosa”, meskipun tanpa disadari justru kebijakan ini telah menjadi perangkap baru yang akhirnya “menyandera” kebijakan ekonomi pemerintah secara berkelanjutan. Dewasa ini perbankan Indonesia tidak melancarkan roda perekonomian tetapi justru menjadi penghambat antara lain dalam bentuk subsidi besar-besaran yang sangat memberatkan APBN. Dilaporkan bahwa Rp91 trilyun tercantum dalam pengeluaran untuk membayar bunga dan cicilan obligasi rekapitalisasi perbankan.


Menyiasati Globalisasi

Krismon 1997 dan sampai tingkat tertentu ledakan “bom Bali” adalah “bom waktu” buatan Indonesia sendiri, karena proses liberalisasi dan globalisasi telah dibiarkan berlangsung “kebablasan”, karena kita mengira sistem ekonomi kapitalis liberal (sistem pasar bebas ala Neoklasik ortodok) adalah satu-satunya sistem ekonomi yang cocok untuk dipakai dan diterapkan di Indonesia. Jika kita sadari dan percaya bahwa Pancasila adalah ideologi yang telah menyatukan bangsa hingga mampu membebaskan Indonesia dari 350 tahun penjajahan, maka Pancasila pastilah dapat diandalkan sebagai sumber ideologi untuk menyusun sistem ekonomi nasional Indonesia. Jika perasan Pancasila adalah asas gotong-royong atau asas kekeluargaan, maka tepat sekali bunyi ayat 1 pasal 33 UUD 45 bahwa:

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Dalam asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Sayang sekali ketentuan tentang demokrasi ekonomi dalam penjelasan UUD 1945 kini telah dihapus oleh ST-MPR 2002. Mungkin MPR tidak menyadari telah “mengkhianati” perjuangan para pendiri negara yang melalui pasal 33 UUD 1945 ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demikian “serangan” globalisasi tidak perlu kita takuti selama kita setia menggunakan Pancasila sebagai ideologi pegangan kehidupan bangsa. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik, dan kerakyatan/populis, yang akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Penutup

Jika orang menyatakan globalisasi “tak terelakkan”, hendaknya kita tidak bersikap pasrah dan menerima begitu saja “aturan main” yang dibuat “mereka”. Jika aturan main yang dipakai adalah “sistem Ekonomi Pancasila”, maka aturan main “kita” inilah yang harus kita pakai sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri, dan bukan aturan main “mereka”.

Globalisasi dan globalisme bukan hal dan paham baru bagi Indonesia karena sejak abad-abad awal penjajahan (17-18) rempah-rempah dan komoditi-komoditi pertanian Indonesia sudah “diglobalisasikan” (globalisasi tahap I ). Selanjutnya globalisasi tahap II (sistem taman paksa 1830-1870) dan sistem kapitalis liberal (pasca 1870) lebih jauh lagi “mengglobalkan” komoditi-komoditi pertanian Indonesia (terutama gula dan tembakau) sehingga “Hindia Belanda” menjadi terkenal sebagai sumber komoditi-komoditi tropik ini. Kini pada globalisasi tahap III (sejak medio delapan puluhan) Indonesia yang sudah menjadi negara merdeka tentulah tidak perlu was-was asal berani dan percaya diri dengan kepala tegak menetapkan aturan main “kita” untuk dipakai sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi “kita” dengan “mereka”. Ilmuwan kita yang memiliki rasa nasionalisme sebaiknya tidak berkata “if you can not beat them, join them”. Sikap kalah sebelum berperang inilah pada umumnya sikap yang kami khawatirkan menghinggapi para penganut paham globalisme dan neoliberalisme.

4 Pebruari 2003

*) Disampaikan pada Seminar Bulanan I PUSTEP-UGM, Yogyakarta 4 Februari 2003.
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

KENDALA SOSIALISASI KONSEP EKONOMI PANCASILA: BEBERAPA CATATAN UNTUK PENGEMBAN EKONOMI PANCASILA

I. PENDAHULUAN

Menjelang abad ke-21 kalangan ekonom, serta orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu ekonomi, dikejutkan oleh pernyataan Paul Ormerod bahwa ilmu ekonomi sudah mati! Ilmu ekonomi yang sudah mati, sebagaimana dimaksudkan oleh Ormerod, tak lain adalah ilmu ekonomi yang ada dan dikenal selama ini, yang lazim berjuluk ilmu ekonomi “konvensional”. Ilmu ekonomi yang diajarkan di sekolah-sekolah ekonomi (sekolah menengah maupun perguruan tinggi) pada umumnya.

Ilmu ekonomi konvensional mungkin belum benar-benar mati. Akan tetapi, setidak-tidaknya ia sudah sekarat. Kesekaratan itu sendiri sesungguhnya sudah sejak lama terasakan, manakala mulai muncul letupan-letupan ketidakpuasan terhadapnya. Bukannya mendatangkan kemakmuran bagi manusia di bumi, sebagaimana janji yang kerap didendangkannya, ilmu ekonomi konvensional justru memperparah kehidupan lapisan masyarakat yang seharusnya ia selamatkan. Alih-alih mengurangi kesenjangan kemakmuran antarnegara di dunia, ilmu ekonomi konvensional justru memperlebar kesenjangan tersebut.

Letupan-letupan ketidakpuasan itu kemudian memunculkan berbagai konsep “ilmu” (setidak-tidaknya sistem, atau kebijakan) ekonomi alternatif. Ekonomika Kelembagaan (institutional economics) yang dikenalkan oleh Kenneth Boulding, Ekonomika Strukturalis (structuralist economics; sering juga dijuluki ekonomika kiri-baru, new-left economics) yang dipopulerkan oleh Raul Prebisch, serta Ekonomika Islami (islamic economics) yang digali dan disyi’arkan oleh ekonom-ekonom muslim, kendati mungkin dianggap baru sebatas wacana, merupakan salah tiga contoh hal itu. Ditambah krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia, setelah jauh sebelumnya dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, ketidakpuasan tersebut semakin keras.



II. EKONOMI PANCASILA

Di Indonesia, ketidakpuasan atas ekonomika konvensional telah memunculkan wacana konsep Ekonomi Pancasila, jauh sebelum negeri ini terserang krisis. Apabila tahun 1980 dapat disepakati sebagai tonggak sejarah [1], sesungguhnya sudah sekitar dua puluh tiga tahun konsep Ekonomi Pancasila dimasyarakatkan. Akan tetapi hingga kini ia belum juga cukup berterima (accepted). Sekali-dua, di sana-sini, datang dan terdengar simpati kalangan tertentu menanggapi tawaran konsep Ekonomi Pancasila. Namun dibandingkan dengan upaya sosialisasinya yang sudah hampir seperempat abad, simpati-simpati yang sporadis itu relatif tidak bermakna (insignificant), nyaris tak terdengar. Konsep Ekonomi Pancasila masih saja belum bisa berterima di negerinya sendiri, bahkan —agaknya— di “rumahnya” sendiri (Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada)!

[1] Tahun ketika (tepatnya pada bulan September 1980, dalam rangka dies natalisnya yang ke-25) FE-UGM sebagai sebuah institusi membahas secara serius konsep Ekonomi Pancasila.

Siapakah (lapisan masyarakat manakah) yang bersimpati pada gagasan/konsep Ekonomi Pancasila? Sementara ini, pada umumnya adalah [semoga jawaban saya keliru!]: (i) orang-orang yang tidak paham betul akan ilmu ekonomi, dan (ii) kalangan masyarakat yang “tercecer” dalam derap kemajuan perekonomian. Instink saya membisikkan, kedua lapisan masyarakat atau kalangan inilah yang bisa dan bersedia “menerima mentah-mentah” gagasan/konsep Ekonomi Pancasila. Kalangan yang pertama dapat menerima karena bagi mereka Ekonomi Pancasila berkesan heroik-populis, mendobrak kemapanan yang ada dan memihak rakyat. Sedangkan kalangan yang kedua dapat menerima, bahkan sangat bergegas akan pelaksanaannya, karena berharap Ekonomi Pancasila akan dapat menjadi penolong keterceceran mereka dalam kancah pergulatan kehidupan ekonomi. Ringkas kalimat, gagasan/konsep Ekonomi Pancasila baru bisa diterima oleh kalangan yang “kurang meyakinkan” (less credible).

Mengapa gagasan/konsep Ekonomi Pancasila masih juga belum bisa berterima secara meluas, belum beroleh tanggapan yang memadai? Pertanyaan-pertanyaan mengusik (disturbing questions) inilah yang hendak saya coba jawab dalam makalah ini. Jawaban-jawaban yang saya lontarkan nanti mungkin sama mengusiknya dengan [atau bahkan lebih menyakitkan daripada] pertanyaan-pertanyaannya itu sendiri. Sekiranya memang demikian, maka saya berharap hal itu dapat menjadi pemicu tekad dan pemacu semangat bagi para pengemban (“pensyi’ar”, “missionaris”) Ekonomi Pancasila untuk lebih giat lagi mengembangkan dan kian gesit pula memasyarakatkan gagasan/konsep dimaksud. Para sejawat pengemban Ekonomi Pancasila di PUSTEP, baik yang di UGM maupun di perguruan tinggi lain — begitu pula pengemban-pengemban perseorangan — perlu memahami berbagai kendala yang dihadapi dalam mengembangkan dan memasyarakatkan gagasan/konsep ini. Pemahaman itu perlu agar tidak merasa taken for granted bahwa Ekonomi Pancasila pasti akan mudah dan mulus berterima karena [1] terlekati kata “Pancasila”; dan [2] memihak kepada rakyat kecil atau masyarakat lapisan bawah (populis, egaliter).

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengusik tadi, marilah kita coba bersama-sama meneropong “kuman di seberang lautan”, kemudian menyingkap “gajah di pelupuk mata”. Dengan perkataan lain, marilah kita inventarisasi kendala-kendala objektif-eksternal yang menyulitkan pemasyarakatan Ekonomi Pancasila. Itu saja belum cukup! Kita juga perlu mengidentifikasi faktor-faktor subjektif-internal yang ada di dalam gagasan/konsep Ekonomi Pancasila itu sendiri, yang menjadi kendala dalam memasarkannya. Bertolak dari “kuman di seberang lautan” dan “gajah di pelupuk mata” itulah kita canangkan ikhtiar untuk mengatasinya.


III. KUMAN DI SEBERANG LAUTAN

Boleh jadi karena keterbukaan atau kerendah-hatian [kerendah-dirian?]-nya, orang Indonesia pada umumnya mempunyai sifat untuk cenderung lebih mempercayai “orang asing” dan lebih bisa menerima sesuatu yang datang dari “luar”. Tidak terkecuali para ekonom Indonesia. Inilah salah satu penyebab eksternal mengapa Ekonomi Pancasila sulit beroleh tanggapan positif dan simpatik secara meluas. Cap “asli, lho!” yang melekat pada Ekonomi Pancasila justru merintangi dirinya sendiri untuk bisa berterima secara meluas (broadly accepted).

Karena tidak pernah mempelajari proses-sejarah terbentuknya sebuah ilmu, banyak ilmuwan tidak memahami asbabun nuzul (asal usul) kelahiran ilmu yang dibidanginya. Hal serupa agaknya terjadi pula pada sebagian besar ekonom Indonesia. Mereka tidak tahu [karena memang lalai terajarkan] bahwa cikal bakal ilmu ekonomi bukanlah ilmu ekonomi an sich sebagaimana selama ini sering diyakini, melainkan ekonomi[ka]-politik (political-economy/mics). Mereka pun tidak tahu bahwa banyak pemikir-utama ilmu ekonomi bukanlah semata-mata ekonom. Akibatnya, banyak ekonom Indonesia mengira persoalan ekonomi semata-mata murni masalah ekonomi, urusan ekonom, dapat dianalisis dan diselesaikan dengan ilmu ekonomi. Konsep Ekonomi Pancasila —yang di dalamnya melekat nuansa non-ekonomi— dianggap bukan urusan ekonom murni, tetapi lebih merupakan urusan politik dan politisi.

Penyebab eksternal yang ketiga juga masih terkait dengan kurang dipahaminya proses-sejarah terbentuknya ilmu ekonomi. Mayoritas pakar ekonomi terperangkap oleh “keyakinan sesat” bahwa ilmu ekonomi bersifat bebas nilai (value free) dan menjagad (universal). Keterbentukan ilmu ekonomi dipercayai tidak dipengaruhi oleh saat ketika dan tempat dimana ia lahir. Akibatnya, ilmu ekonomi diyakini terlekati oleh karakteristik coca-cola, bahwa ilmu ini berlaku bagi “siapa saja, kapan saja, dan dimana saja”. Pendek kata, tidak perlu ada ilmu ekonomi [setidak-tidaknya teori-teori ekonomi tertentu] yang khas atau khusus bagi kalangan masyarakat tertentu atau di tempat tertentu. “Keyakinan sesat” ini turut menyebabkan konsep Ekonomi Pancasila sukar diterima oleh (justru!) para ekonom Indonesia sendiri, karena konsep keilmuan ekonomi yang khusus semacam Ekonomi Pancasila [begitu pula —misalnya— konsep Ekonomi Islami] dipandang mengada-ada.

Penyebab eksternal berikutnya terkait dengan “bias-bias struktural” dalam pengajaran ilmu ekonomi. Muatan-ajar (teaching contents) ilmu ekonomi di Indonesia bersifat tidak berimbang dalam dua hal. Pertama dalam hal mazhab (aliran pemikiran) teoretis keilmuannya, bias ke pemikiran ekonomi klasik (termasuk neo-klasik yang merupakan salah satu variannya). Konsep-teoretis keekonomian Keynesian tidak mendapatkan porsi ajar yang memadai atau berimbang. Pada umumnya mahasiswa hanya dikenalkan pada identitas pendapatan nasional equilibrium ala Keynesian (yakni Y=C+I+G+X-M); motif-motif permintaan uang tunai; dan analisis IS-LM.

Ketidakberimbangan-struktural yang kedua adalah dalam hal media ajar yang dibudayakan. Mahasiswa ekonomi Indonesia —oleh para dosennya— cenderung lebih dibudayakan pada/dengan buku-buku-ajar (text-books), tidak diimbangi dengan buku-bacaan (readings). Budaya ini berakibat pemahaman keilmuan mereka menjadi bias ke penguasaan teknis-mekanis, sementara wawasan keilmuannya terbatas. Sarjana-sarjana ekonomi yang demikian sebenarnya lebih tepat berjuluk “mekanik ekonomi”, bukan ilmuwan ekonomi!

Bias-bias struktural dalam muatan-ajar tersebut merupakan penyebab eksternal keempat yang menyulitkan keberterimaan konsep Ekonomi Pancasila. Ini masih diperparah dengan kenyataan terputusnya pengenalan keekonomian Indonesia antara jenjang sekolah menengah dan pendidikan tinggi ekonomi.

Sebagai rangkuman, inilah kendala-kendala objektif-eksternal yang merintangi pemasyarakatan gagasan/konsep Ekonomi Pancasila:

1. Sifat orang Indonesia yang cenderung lebih percaya pada orang “asing” dan lebih bisa menerima sesuatu yang datang dari “luar”;
2. Kepercayaan berlebihan (over confidence) ekonom pada umumnya yang mengira masalah ekonomi adalah urusan ekonomi an sich (tidak gayut dengan aspek-aspek sosial non-ekonomi), sehingga teori-teori ekonomi yang ada dipercayai cukup andal untuk mengatasi segala masalah ekonomi;
3. Keyakinan sesat mengenai sifat bebas nilai dan universalitas ilmu ekonomi, bahwa teori-teorinya tidak terpengaruh oleh perilaku dan budaya serta pandangan hidup masyarakat dimana teori itu berakar, padahal ilmu ekonomi adalah ilmu sosial (bukan ilmu alam, pula bukan ilmu pasti);
4. Ketidak-berimbangan (bias-bias) struktural dalam muatan-ajar pendidikan ilmu ekonomi di Indonesia:

· bias ke mazhab ekonomi klasik (termasuk neo-klasik), kurang diimbangi dengan cara berpikir mazhab ekonomi Keynesian,

· media-ajar praktis bertumpu pada buku-ajar (text-books), tidak diimbangi dengan buku bacaan (readings); akibatnya para ekonom atau sarjana ekonomi cenderung menjadi “konsultan-tukang” (solusi-solusi yang ditawarkannya teknis-mekanis), bukan menjadi ilmuwan, apalagi cendekiawan,

· terputusnya pengenalan keekonomian Indonesia antara jenjang sekolah menengah dan jenjang pendidikan tinggi.


IV. GAJAH DI PELUPUK MATA

Setelah puas meneropong kuman nun di seberang lautan, sekarang marilah kita singkap gajah di pelupuk mata sendiri. Faktor-faktor internal apa saja yang membuat konsep Ekonomi Pancasila sukar dimasyarakatkan bin sulit dipasarkan.

Salah satu “sex appeal” ilmu ekonomi konvensional [setidak-tidaknya teori-teori yang ada dalam ekonomika konvensional pada umumnya] ialah kemampuan sisi positifnya dalam menerangkan perilaku dan menelaah gejala-gejala. Hal ini berkat kemapanan akademisnya (kemantapan teori, keterukuran dalil-dalil) yang sudah teruji secara ilmiah. Acian-acian (assumptions) yang mendasari teorinya jelas [bahwa —antara lain — para pelaku ekonomi dianggap senantiasa bersikap rasional], sehingga perkecualian atau penyimpangan yang mungkin timbul dapat segera diantisipasi atau dipahami. Kemapanan akademis itulah yang membuatnya memiliki jabaran-jabaran praktis yang berlaku sahih atau dapat diterapkan pada kehidupan nyata, termasuk berupa kebijakan-kebijakan (policies); baik terhadap masing-masing pelaku ekonomi selaku individu (pada tataran mikro), maupun terhadap sekelompok pelaku ekonomi sebagai suatu masyarakat atau sebuah sistem (tataran makro). Dalam konteks inilah Ekonomi Pancasila belum mampu menarik minat.

Ekonomi Pancasila sejauh ini baru berupa sebuah konsep, tegasnya konsep tentang “aturan main” pelaksanaan dan kebijakan perekonomian di Indonesia. Ia belum sampai pada aras teori, konon pula menyentuh aras ilmu. Memang tidak adil (unfair) membandingkan Ekonomi Konvensional yang sudah mencapai aras ilmu dengan Ekonomi Pancasila yang masih pada aras konsep aturan main pelaksanaan dan kebijakan. Namun demikian, aturan main konseptual yang ada [diadakan?] dalam Ekonomi Pancasila itupun —sejauh ini, rasanya— masih terbatas hipotetis-normatif. Aturan-aturan itu belum teruji menjadi tesis, atau setidak-tidaknya dijabarkan sisi positifnya, sehingga bisa diujudkan menjadi ketentuan-ketentuan praktis. Belum terujinya norma-norma yang hipotetis tersebut, atau belum terjabarkannya ketentuan praktis itulah, yang mencuatkan kesan bahwa konsep Ekonomi Pancasila betul-betul baru sekadar gagasan normatif.

Penyebab internal kedua yang menyukarkan pemasyarakatan dan menyulitkan pemasaran konsep Ekonomi Pancasila terletak pada Pancasila itu sendiri! Tidak ada “keraguan ideologis” terhadap Pancasila sebagai falsafah negara Republik Indonesia. Akan tetapi selalu terpendam “trauma politis“ perihal kesejatian praktik Pancasila yang sesungguhnya. Siapa atau lembaga apakah yang diamanati sebagai semacam “Pancasila Watch”, yang memiliki kapasitas dan kredibilitas untuk memelihara kemurnian Pancasila? Lembaga semacam itu selama ini justru diperankan sendiri oleh rezim yang sedang berkuasa. Malang, penyelewengan besar dan kronis Pancasila oleh dua rezim (Soekarno dan Soeharto) telah menimbulkan trauma bagi rakyat. Dalam era reformasi sekarang ini, orang-orang cenderung alergi terhadap Pancasila. Karena terlekati identitas Pancasila, maka konsep Ekonomi Pancasila turut terkena “getah”-nya. Membumikan konsep Ekonomi Pancasila agaknya tidak bisa segera dimulai dengan memasyarakatkan konsep-konsep keekonomiannya, melainkan harus diawali dengan memasyarakatkan-kembali Pancasila itu sendiri.

Itulah kendala-kendala subjektif-internal yang merintangi pemasyarakatan dan menghalangi pemasaran Ekonomi Pancasila, yakni:

1. Muatannya (berupa aturan-aturan main pelaksanaan dan kebijakan ekonomi) masih terlalu hipotetis-normatif, belum teruji menjadi tesis dengan jabaran praktis yang operasional (belum menjadi tesis-positif);
2. Pelekatan identitas Pancasila, di tengah masyarakat yang sedang dilanda gejala “Pancasila-phobia”, justru menjadi perintang besar bagi upaya sosialisasi konsep Ekonomi Pancasila; kalaupun kelak konsep ini semakin sempurna dan teruji andal, bukan mustahil ia akan tetap sulit disosialisasikan — bukan karena muatan keekonomiannya, melainkan justru karena identitas kepancasilaannya.


V. LALU APA?

Kendala-kendala sosialisasi konsep Ekonomi Pancasila, sebagaimana terpapar di atas, saya harapkan dapat menjadi “pengingat” bagi para pengemban Ekonomi Pancasila tentang betapa peliknya upaya memasyarakatkan dan memasarkan konsep dimaksud. Sekadar contoh kasus, ambillah misalnya kendala eksternal yang pertama, yakni sifat orang Indonesia yang cenderung lebih percaya pada orang asing dan lebih bisa menerima sesuatu yang datang dari luar. Bagaimana cara “menembus” kendala ini agar gagasan/konsep Ekonomi Pancasila dapat lebih luas berterima? Siapa yang harus atau mampu melakukannya? Mengatasi satu kendala ini saja jelas merupakan pekerjaan besar dan berat. Belum lagi mengatasi atau menembus kendala-kendala yang lain.

Singkat uraian, dalam mensosialisasikan Ekonomi Pancasila, para pengemban harus memiliki rencana yang terinci dan sistematis. Terinci dan sistematis tentang apa-apa yang harus dikerjakan, mana yang diprioritaskan, siapa mengerjakan apa, bagaimana mengerjakannya, kapan dikerjakan, serta dengan siapa bekerja atau bekerja sama. Para pengemban Ekonomi Pancasila — baik melalui lembaga semacam PUSTEP, apalagi secara perseorangan — jelas mustahil bekerja sendirian, apalagi jika mengingat bahwa sebagian besar kendala justru berada di luar (bersifat eksternal).

Terakhir, semoga prasaran ini — disamping sebagai “pengingat” akan betapa kompleknya tantangan — bermanfaat pula sebagai hint bagi penyusunan program kerja konkret pusat-pusat studi dan lembaga-lembaga pengemban Ekonomi Pancasila.



11 Maret 2003

*) Disampaikan pada Seminar Bulanan II PUSTEP-UGM, Yogyakarta 11 Maret 2003.
Oleh: Drs. Dumairy, MA -- Dosen FE-UGM, Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

SISTEM EKONOMI PANCASILA SEBAGAI PILIHAN BANGSA INDONESIA

Pendahuluan

Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa tersebut tampaknya cocok juga untuk diterapkan pada Sistem Ekonomi Pancasila (selanjutnya akan disingkat dengan SEP). Meskipun usia SEP setua usia Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, selama ini SEP lebih merupakan pengertian daripada penerapan, itupun lebih merupakan pengertian implisit daripada eksplisit.

Perjalanan SEP baik dari segi pengertian maupun dari segi penerapan sejak, tahun 1945, memang tersendat-sendat. Intelektual Indonesia baru mulai serius memikirkannya pada tahun 1980 dalam seminar nasional yang diselenggarakan leh Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Namun demikian, setelah seminar nasional tersebut selesai, tidak ada kelanjutannya lagi. Di bawah pemerintah Orde Baru, yang berkuasa di Indonesia selama 32 tahun, SEP nyaris “mati suri”. SEP hanya diakui secara de jure, dijadikan dasar tulisan GBHN bidang ekonomi. Tetapi, secara de facto SEP tidak pernah diterapkan. Tidak jelas sistem ekonomi apa yang diterapkan selama era Orde Baru, ada yang menyebutnya “kapitalisme malu-malu”, atau “segalanya dapat diatur”, bahkan ISEI sendiri dalam kebingungannya menamakan sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia sebagai “mengambang terkendali” dala, kongresnya di Padang yang lalu diganti menjadi “mengambang terkelola” dalam kongresnya di Medan. Ketidakjelasan ini ternyata telah mengarah kepada pendiskreditan SEP. ada yang mengira bahwa SEP adalah sistem “sama rata sama rasa”, dan bahkan tidak sedikit yang menyalahkan SEP sebagai penyebab tetap miskinnya Indonesia setelah setengah abad merdeka.

Dengan berakhirnya era Orde Baru, pemikiran tentang Sep kembali dimunculkan di kalangan intelektual. Pada 12 Agustus 2002, UGM mempelopori pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila. Namun demikian, perlu digarisbawahi di sini bahwa pemunculan kembali pemikiran tentang SEP terjadi pada saat generasi sudah berganti, pada saat kondisi masyarakat sudah berubah, pada saat pemikiran tentang SEP tidak memiliki kecukupan awalnya lagi, pemikiran awal tentang SEP sudah tidak memadai lagi.

Dalam upaya memahami SEP, tulisan ini akan difokuskan dalam 3 topik bahasa, yaitu, (1) Ekonomi Pancasila sebagai pemikiran ekonomi, (2) kriteria ketepatan SEP sebagai pilihan sistem ekonomi Indonesia, dan (3) SEP sebagai pilihan sosial bangsa Indonesia.


Ekonomi Pancasila sebagai Pemikiran Ekonomi

Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan tumbuh-kembangnya pemikiran Ekonomi Pancasila sebagai pemikiran Ekonomi Pancasila, yaitu Dialektiga Hegel, Paradigma Kuhn, dan Pendekatan Genetik, yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Dialektika Hegelian dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa tumbuh-kembang Ekonomi Pancasila adalah secara historis, melalui proses “tesa-antitesa-sitesa”. Itulah sebabnya istilah yang digunakan untuk kemunculan Pancasila adalah “digali” bukan “diciptakan”, karena diyakini bahwa Pancasila dan SEPnya sudah lama dimiliki oleh Bangsa Indonesia.
2. Paradigma Kuhn dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa tumbuh-kembang Ekonomi Pancasila tidak selalu dalam karakter normal, yang prosesnya perlahan dan lancar, melainkan mengikuti suatu proses non-kumulatif yang ditimbulkan oleh terjadinya krisis atau devolusi yang mendadak dan tak beraturan.
3. Pendekatan Genetk (dari Lawrence Nabers) dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa tumbuh-kembang Ekonomi Pancasila mengikuti tiga tahap genetika yaitu, (1) Psychogenetic, yang mengkaitkan Ekonomi Pancasila dengan pemikirnya, (2) The Logical, yang menghubungkan perjalanan perkembangan Ekonomi Pancasila sejak awal, (3) Histori-cultural, yang menekankan pada hubungan antara tumbuh-kembang Ekonomi Pancasila dengan tumbuh-kembang aspek politik-ekonomi-sosial-budaya masyarakat Indonesia.

Secara ringkas, tumbuh-kembang pemikiran Ekonomi Pancasilatidak pernah meninggalkan perjalanan sejarahnya, dan mengikuti suatu proses pemahaman akan fenomena ekonomi di Indonesia, yang pada gilirannya akan menghasilkan, memperbaiki, dan melengkapi struktur analitik dari Ekonomi Pancasila dengan cara beruntun tanpa akhir.

Satu tugas dari pemikiran Ekonomi Pancasila, adalah untuk mengetahui bagaimana dan mengapa perilaku ekonomi masyarakat Indonesia tumbuh dan berkembang. Pemahaman bahwa konklusi dari perilaku manusiawi tidak pernah selesai, menyebabkan pemikiran Ekonomi Pancasila memahami dinamika perubahan yang terjadi. Selama lingkungan ekonomi selalu berubah, implikasi langsung yang timbul adalah bahwa perilaku ekonmi harus menyesuaikan diri pada perubahan situasi dan perubahan kebutuhan yang terjadi jika ingin tetap mereflesikan kenyataan. Oleh karenanya, pemikiran Ekonomi Pancasila secara konstan dipaksa untuk melakukan modifikasi dari teori-teori ekonomi yang ada untuk mencari kebenaran ilmiah dari Ekonomi Pancasila dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang, dan mampu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap struktur sosial masyarakat Indonesia.


Kriteria Ketetapan SEP sebagai Pilihan Sistem Ekonomi Indonesia

Republik Indonesia yang lahir pada tahun 1945, langsung tepat berada di tengah-tengah arena dua kutub supremasi, yaitu sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonom sosialisme. Namun demikian, sungguh beruntung Republik Indonesia, karena para pendiri republik tidak membiarkan Indonesia ikut arus memilih salah satu dari dua sistem ekonomi tersebut. Pancasila yang dipilih oleh para pendiri republik sebagai dasar falsafah negara, mengilhami sistem ekonomi alternatif, yang kemudian disebut “Sistem Ekonomi Pancasila”. SEP dipilih karena pemilihan satu sistem ekonomi oleh suatu bangsa tidak pernah menggunakan kriteria baik atau buruk, benar atau salah, melainkan menggunakan kriteria tepat atau tidak tepat (selanjutnya disebut kriteria ketepatan suatu sistem ekonomi) yang dikaitkan dengan aspek-aspek politik-ekonomi-sosilal-budaya bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegaranya.

Untuk memahami kriteria ketepatan SEP sebagai sistem ekonomi bagi bangsa Indonesia ada baiknya jika kita memahami dinamika perubahan dari sistem-sistem ekonomi pendahulu dari SEP. perjalanan sejarah ini menunjukkan bahwa kriteria ketepatan suatu sistem ekonomi bagi suatu masyarakat senantiasa bergeser, berkembang, berubah, atau bahkan berganti, mengikuti aliran dinamika aspek-aspek politik-ekonomi-sosilal-budaya masyarakat tersebut dalam kehidupan bernegaranya.

1. Sistem Ekonomi Merkantilisme

Sistem ekonomi merkantilisme yang lahir di Eropa Barat pada abad ke-15 dianggap sebagai awal dari sejarah pemilihan sistem ekonomi bagi suatu bangsa. Sistem ini menyerahkan keputusan ekonomi sepenuhnya di tangan pemerintah, cocok dengan karakter pemerintah pada masa itu yang monarkhi absolut. Surplus perdagangan yang dipaksakan, yang menjadi ciri sistem merkantilisme, memunculkan perekonomian “zero sum game”, ada pihak yang surplus ada pihak yang defisit, ada yang diuntungkan ada yang dirugikan, ada yang menang ada yang kalah. Sifat tangan besi dari sistem merkantilisme menyebabkan kendali ekonmi berada di tangan para jenderal perang seperti Robespierre, Cromwell, dan Admiral Nelson. Sistem ekonomi ini serasi untuk sistem masyarakat feodal, yang memerlukan ketimpangan absolut antara kelas atas, bangsawan yang borjuis, dengan kelas bawah, buru dan petani, yang proletar, untuk mempertahankan kekuasaan. Pada abad ke-18 sistem ekonomi merkantilisme tumbang, dan digantikan oleh sistem ekonomi yang dibawa oleh Adam Smith. Mengapa? Karena ada hak yang paling asasi dihilangkan dalam sistem merkantilisme, yaitu kebebasan individu.

2. Sistem Ekonomi Kapitalisme Adam Smith

Sistem ekonomi yang dibawa oleh Adam Smith di tahun 1776 merupakan sistem yang berseberangan dengan sistem Merkantilisme. Jika merkantilisme menyerahkan keputusan ekonomi di tangan pemerintah, Adam Smith menghapus campur tangan pemerintah dalam perekonomian dan menawarkan kebebasan individu secara penuh dalam pengambilan keputusan ekonomi. Jika merkantilisme menawarkan “zero sum game”, Adam Smith menawarkan “win-win solution game”, semua pihak yang terlibat dalam transaksi ekonomi diuntungkan, minimal tidak ada yang dirugikan (dikenal dengan “janji Adam Smith”). Mengapa Adam Smith berhasil? Angin sejuk demokrasi yang dibawa oleh Adam Smith membawa segudang harapan pada pihak-pihak yang tertindas dalam sistem feodalisme dari merkantilisme. “Revolusi” Adam Smith mampu mengilhami Revolusi Perancis (1789) yang menjadikan Perancis berubah dari kerajaan menjadi republik, dan mampu membawa perubahan drastis di Inggris, dari monarkhi abasout menjadi monarkhi parlementer. Sistem ekonomi merkantilisme ditinggalkan, diganti dengan sistem kapitalisme, yang mengandalkan pencapaian kemakmuran pada sistem ekonom pasar (bebas), pengerjaan penuh, dan persaingan sempurna. Sistem kapitalisme Adam Smith ini mampu bertahan selama satu setenah abad, dari tahun 1776-1930. namun demikian, akhirnya sistem kapitalisme Adam Smith harus kandas juga, karena tidak mampu memberikan solusi keluar dari Dpresi Besar yang melanda dunia di awal dekade 1930-an, bahkan dianggap sebagai pemicu terjadinya .......

3. Sistem Ekonomi



4. Sistem Ekonomi Kapitalisme Negara Kesejahteraan

Contoh lain dari koreksi terhadap sistem kapitalisme Adam Smith sistem kapitalisme negara kesejahteraan, yang berkembang di Eropa Barat. Inggris, salah satu negara Eropa Barat yang memilih merevisi sistem kapitalismenya menjadi “sistem kapitalisme berpilarkan kesejahteraan rakyat” atau lebih dikenal dengan nama “wlfare state” (negara kesejahteraan), menikmati stabilitas yang “nyaris abadi”, bukan hanya di Inggris tetapi juga di negara-negara persemakmurannya. Sistem ekonomi ini juga mampu bertahan sampai sekarang.

5. Sistem Ekonomi Sosialisme Karl Marx

Di lain pihak, satu abad setelah revolusi Adam Smith, kritik terhadap kapitalisme yang dilakukan secara ekstrim oleh Karl Marx ini mengilhami lahirnya Stalinisme, Leninisme, Castroisme, dan Maoisme, yang lebih dikenal dengan nama sistem ekonomi sosialis-komunis. Sistem ekonomi sosialis-komunis berada pada puncaknya pada saat kejatuhan sistem ekonomi kapitalisme Adam Smith, dimana sebagian masyarakat Amerika Serikat yang kehilangan kepercayaan pada sistem ekonomi kapitalisme Adam Smith mulai berpaling pada sistem ekonomi sosialis-komunis (red Americans). Namun demikian, pada gilirannya, dunia menyaksikan runtuhnya Uni Soviet, runtuhnya Tembok Berlin, yang menandai runtuhnya sistem sosialis-komunis. Negara-negara pemilih sistem ekonomi sosialis-komunis meninjau kembali sistem ekonominya. Sistem tertutup (sistem bertirai) dianggap menjadi biang keladi kegagalan sistem sosialis-komunis. Negara-negara pecahan Uni Soviet mengalami pergeseran ke arah kapitalisme, Kuba mulai membuka diri, bahkan merintis berbaikan dengan AS, dan Cina, menggunakan sistem ekonomi yang khas, yaitu “sosialisme ala Cina”.

Membaca paparan perjalanan sejarah dari sistem-sistem ekonomi di atas, maka tersendat-sendatnya penerapan SEP dan pendiskreditan terhadap SEP yang terjadi selama ini dapat dipahami. Kriteria ketepatan dari SEP sedang mengalami pergeseran-pergeseran akibat dinamika aspek-aspek politik-ekonomi-sosial-budaya masyarakat Indonesia dalam kehidupan bernegara. Bahwa sekarang ada upaya intelektual untuk “menghidupkan kembali” SEP dari mati surinya, juga menunjukkan bahwa adanya pergeseran-pergeseran akibat dinamika aspek-aspek politik-ekonomi-sosial-budaya masyarakat Indonesia dalam kehidupan bernegaranya memunculkan kembali kriteria ketepatan dari SEP sebagai sistem ekonomi pilihan bangsa.


Penutup: Sistem Ekonomi Pancasila sebagai Pilihan Bangsa Indonesia

Masalah dalam menentukan pilihan bangsa adalah memilih satu cara yang memuaskan semua pihak dan masyarakat (aggretation device). Menurut Arrow’s Paradox atau Arrow’s Impossibility Theorem, satu aggregation device tersebut tidak ada, karena harus rasional. Yang dimaksud dengan rational aggregation device di sini adalah secara simultan memenuhi empat syarat: (1) ruang lingkup tanpa batas, (2) Prinsip Optimalitas Pareto, (3) Nondictatorship, dan (4) Kemandirian dari berbagai alternatif yang irrelevant.

Pertanyaan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia adalah apakah aspek-aspek politik-ekonomi-sosial-budaya masyarakat Indonesia mampu menyajikan satu rational aggregation device, sehingga dapat menentukan Sistem Ekonomi Pancasila sebagai pilihan bangsa, yang memuaskan seluruh individu dalam masyarakat Indonesia? Mencari jawaban pertanyaan di atas akan menjadi lebih mudah, jika bangsa Indonesia memiliki rasionalitas yang khas yang mampu melahirkan satu rational aggregation device, dan jika bangsa Indonesia meyakini Sistem Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang paling tepat bagi bangsa Indonesia, melalui kajian yang lebih mendalam terhadap kelebihan dan kelemahan dari sistem Ekonomi Pancasila. Selayaknya kajian ini akan menjadi bahan pemikiran selanjutnya.

Oleh: Dra. Endang Sih Prapti, M.A. -- Pengajar di FE-UGM, Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

DEMOKRASI EKONOMI, DEMOKRASI INDUSTRIAL DAN EKONOMI PANCASILA

Pendahuluan

Akhir-akhir ini semakin luas dibahas sistem Ekonomi Syariah yang dianggap lebih adil dibanding sistem ekonomi yang berlaku sekarang khususnya sejak 1966 (Orde Baru) yang berciri kapitalistik dan bersifat makin liberal, yang setelah kebablasan kemudian meledak dalam bentuk bom waktu berupa krismon tahun 1997. Krismon yang menghancurkan sektor perbankan modern kini tidak saja telah menciutkan jumlah bank menjadi kurang dari separo, dari 240 menjadi kurang dari 100 buah, tetapi juga sangat mengurangi peran bank dalam perekonomian nasional.

Dalam pada itu Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5) jelas berorientasi pada etika (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan kemanusiaan, dengan cara-cara nasionalistik dan kerakyatan (demokrasi). Secara utuh Pancasila berarti gotong-royong, sehingga sistem ekonominya bersifat kooperatif/kekeluargaan/tolong-menolong.

Jika suatu masyarakat/negara/bangsa, warganya merasa sistem ekonominya berkembang ke arah yang timpang dan tidak adil, maka aturan mainnya harus dikoreksi agar menjadi lebih adil sehingga mampu membawa perekonomian ke arah keadilan ekonomi dan sekaligus keadilan sosial.


Profit-Sharing dan Employee Participation

Prinsip profit-sharing atau bagi-bagi keuntungan dan resiko yang jelas merupakan ajaran Sistem Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah negara maju (welfare state) yang merasa bahwa penerapan prinsip profit-sharing dan employee participation lebih menjamin ketentraman dan ketenangan usaha dan tentu saja menjamin keberlanjutan suatu usaha.

Economic democracy is typically used to denote a variety of forms of employee participation in the ownership of enterprises and in the distribution of economic rewards;

Industrial democracy refers to the notion of worker participation in decision-making and employee involvement in the processes of control within the firm. (Poole 1989: 2)

Meskipun pengertian economic democracy jelas lebih luas dari industrial democracy namun keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau “style” manajemen satu perusahaan yang jika dilaksanakan dengan disiplin tinggi akan menghasilkan kepuasan semua pihak (stakeholders) yang terlibat dalam perusahaan. Itulah demokrasi industrial yang tidak lagi menganggap modal dan pemilik modal sebagai yang paling penting dalam perusahaan, tetapi dianggap sederajat kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja, yang berarti memberikan koreksi atau reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme lebih-lebih yang bersifat neoliberal.

Prinsip employee participation yaitu partisipasi buruh/karyawan dalam pengambilan keputusan perusahaan sangat erat kaitannya dengan asas profit-sharing karena adanya partisipasi buruh/karyawan dalam decision-making perusahaan berarti buruh/karyawan ikut bertanggung jawab atas diraihnya keuntungan atau terjadinya kerugian.

Banyak perusahaan di negara kapitalis yang menganut bentuk negara kesejahteraan (welfare state), telah mempraktekkan prinsip profit-sharing dan employee participation ini, yang paling jelas diantaranya adalah bangun perusahaan koperasi, baik koperasi produksi maupun koperasi konsumsi, terutama di negara-negara Skandinavia.


Mengapa profit-sharing dan share-ownership?

Berdasarkan penelitian 303 perusahaan di Inggris, alasan perusahaan mengadakan aturan pembagian laba dan pemilikan saham oleh buruh/karyawan ada 5 yaitu (Poole 1989: 70-71):

1. Komitmen moral (moral commitment);

2. Penahanan staf (staff retention);

3. Keterlibatan buruh/karyawan (employee involvement);

4. Perbaikan kinerja hubungan industrial (improved industrial relations performance);

5. Perlindungan dari pengambilalihan oleh perusahaan lain (protection against takeover).

Bisa dibuktikan bahwa ke-5 alasan yang disebut di sini diputuskan manajemen perusahaan karena memang benar-benar dialami banyak perusahaan lebih-lebih pada perusahaan keuangan yang bersaing dengan ketat satu sama lain, dan ada kebiasaan terjadinya “mobilitas” tinggi dari staf yang berkualitas. Tanpa kecuali hampir semua cara ditempuh perusahaan untuk meningkatkan kesadaran ikut memiliki perusahaan bagi buruh/ karyawan yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan semangat bekerja yang pada gilirannya berakibat meningkatkan keuntungan perusahaan. Dalam perusahaan yang berbentuk koperasi, sejak awal anggota koperasi adalah juga pemilik perusahaan yang disamping dapat memperoleh manfaat langsung dalam berbisnis dengan koperasi juga pada akhir tahun masih dapat menerima sisa hasil usaha (yang sering dikacaukan dengan keuntungan). Inilah “rahasia” berkoperasi yang biasanya tidak ditonjolkan pengurus karena praktek-praktek manajemen koperasi sering bertentangan dengan “teori koperasi” yang harus bersifat profit-sharing. Artinya perusahaan koperasi sering berubah menjadi “koperasi pengurus” bukan “koperasi anggota”. Profit-sharing dan sharing ownership sangat sejalan dengan aturan main Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan menghindarkan ketimpangan ekonomi dan sosial dan berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.


Mengapa koperasi Indonesia sulit maju?

Ilmu ekonomi tidak banyak menyumbang kecintaan para ekonom pada bangun perusahaan koperasi, karena sejak awal model-modelnya adalah model persaingan sempurna, bukan kerjasama sempurna. Ajaran ilmu ekonomi Neoklasik jelas bahwa efisiensi yang tinggi hanya dapat dicapai melalui persaingan sempurna. Inilah awal “ideologi” ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max Weber, sosiolog Jerman, bapak ilmu sosiologi ekonomi. Ajaran Max Weber ini sebenarnya sesuai dengan ajaran awal Adam Smith (Theory of Moral Sentiments, 1759) dan ajaran ekonomi kelembagaan dari John Commons di Universitas Wisconsin (1910).

Koperasi yang merupakan ajaran ekonomi kelembagaan ala John Commons mengutamakan keanggotaan yang tidak berdasarkan kekuatan modal tetapi berdasar pemilikan usaha betapapun kecilnya. Koperasi adalah perkumpulan orang atau badan hukum bukan perkumpulan modal. Koperasi hanya akan berhasil jika manajemennya bersifat terbuka/transparan dan benar-benar partisipatif.


Penutup

Keprihatinan kita atas terjadinya kesenjangan sosial, dan ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan bangsa, seharusnya merangsang para ilmuwan sosial lebih-lebih ekonom untuk mengadakan kajian mendalam menemukenali akar-akar penyebabnya. Khusus bagi para ekonom tantangan yang dihadapi amat jelas karena justru selama Orde Baru ekonomi Indonesia dianggap sudah sangat berhasil tumbuh secara meyakinkan dari status negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah. Krisis multidimensi yang disulut krisis moneter dan krisis perbankan tahun 1997 tidak urung kini hanya disebut sebagai krisis ekonomi yang menandakan betapa bidang ekonomi dianggap “mencakupi” segala bidang sosial lainnya.

Why economists disagree? Dan tidak why lawyer atau sociologists disagree? Inilah alasan lain mengapa ekonom Indonesia mempunyai tugas sangat berat sebagai penganalisis masalah-masalah sosial-ekonomi besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Perbedaan pendapat di antara ahli hukum atau ahli sosiologi dapat terjadi barangkali tanpa implikasi serius, sedangkan jika perbedaan itu terjadi di antara pakar-pakar ekonomi maka implikasinya dapat sangat serius bagi banyak orang bahkan bagi perekonomian nasional.

6 Mei 2003

*) Disampaikan pada Seminar Bulanan ke-4 PUSTEP-UGM, Yogyakarta 6 Mei 2003.
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

KOPERASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI PANCASILA

1. Wacana perjuangan

Perjuangan bangsa Indonesia bersama segenap komponen dan eksponen kekuatan nasional seluruh negeri tahap pertama melawan penjajah, yaitu “Mencapai Indonesia Merdeka” telah berhasil dengan gemilang yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan telah dilengkapi pula dengan dasar negara ideologi luhur Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945 sebagai platform pijakan perjuangan tahap kedua menuju cita-cita bangsa.

Bagi bangsa Indonesia proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “berkat rakhmat Allah” (Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga) yang melekat menyertai perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia (Pembukaan UUD 1945 alinea kedua), sedang dalam batang tubuhnya ditegaskan “Negara berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 UUD 1945), yang artinya tatanan dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum dan nilai-nilai Ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian maka Proklamasi juga merupakan tekad dan janji bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan janjinya itu secara konsisten, murni dan konsekwen bersama segenap rakyat Indonesia di lingkungan dunia internasional dalam tingkat, harkat, martabat dan derajat yang sama dengan bangsa-bangsa lain.

Perjuangan bangsa tahap kedua telah berjalan selama hampir 58 tahun, namun hasilnya masih sangat mengecewakan bahkan terlihat semakin jauh dari gambaran cita-cita bangsa Indonesia (alinea 4 Pembukaan UUD 1945), yang terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu :

a. Mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pemerintahan yang bersih, berwibawa, stabil dan kuat agar mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

b. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,

c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh karenanya diperlukan langkah pencermatan terhadap pengalaman masa lalu untuk introspeksi dan evaluasi berdasarkan platform tersebut diatas guna menemukan penyebab yang dianggap paling mendasar dari kegagalan perjuangan tahap kedua, kemudian secara induktif dan deduktif dicari berbagai alternatif pemecahannya sebagai upaya antisipatif dari segala penyebab kegagalan tersebut.

Selanjutnya berpijak pada platform tersebut disusunlah rencana baru perjuangan yang lebih realistis dan lebih terukur dalam ruang dan waktu yang tersedia secara kontekstual sesuai dengan hasil analisa situasi dan kondisi obyektif yang nyata serta menyusun strategi dan taktik perjuangan yang lebih relevan untuk tidak mengulangi kegagalan lagi.



2. Pengalaman Sejarah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 :

Mempelajari perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 hingga sekarang (1945 – 2003) tersimpul bahwa sebenarnya Pancasila dan UUD 1945 belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen sesuai maksud dan tujuan semula.

Tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar NKRI disahkan dan berlaku bagi seluruh tanah air Indonesia, kemudian disusul pembentukan suatu Kabinet Presidensiil sesuai ketentuan UUD 1945 yang sudah disahkan itu. Tetapi pada tanggal 14 Nopember 1945 BP-KNIP (yang melakukan fungsi MPR sebelum MPR terbentuk) mengusulkan kepada Presiden agar Kabinet Presidensiil diganti dengan Kabinet Parlementer yang dipimpin seorang Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada DPR. Maka Kabinet Presidensiil tadi dibubarkan dan diganti Kabinet Parlementer (dengan Perdana Menteri Syahrir I), yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Jadi UUD 1945 hanya berlaku selama 3 (tiga) bulan kurang 3 hari.

Bentuk Kabinet Parlementer ini berlangsung terus hingga tanggal 5 Juli 1959 saat Presiden mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 serta membubarkan Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 setelah gagal menyusun Undang-Undang Dasar yang baru. Maka Presiden membentuk Kabinet Presidensiil yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Kemudian Presiden memerintahkan Badan Perancang Pembangunan Nasional untuk menyusun suatu rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) dengan periode pembangunan berjangka waktu 8 tahunan (1961–1969) berdasarkan pidato kenegaraan Presiden tanggal 17 Agustus 1959.

Namun karena keterbatasan dana dan negara memprioritaskan perjuangan Tri Kora (1962) untuk merebut kembali Irian Barat dan mengembalikan kepangkuan wilayah Republik Indonesia dari kekuasaan Belanda, maka terpaksa PNSB belum dapat dilaksanakan dengan baik.

Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September 1965) yang dipimpin oleh PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia. Dalam waktu singkat ABRI dapat mengatasi pemberontakan tersebut.

Tanggal 11 Maret 1966 Presiden menerbitkan Surat Perintah (terkenal dengan istilah Super Semar) kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Pangkostrad untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan negara. Tetapi ternyata Super Semar tersebut dimanfaatkan untuk mengambil alih kekuasaan Presiden dengan dukungan MPRS.

Kemudian disusul dengan dibentuknya Pemerintahan Orde Baru dibawah pimipinan Jenderal Suharto yang menjanjikan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ternyata secara operasional sejak awal sudah menyimpang dari jiwa Pancasila dan UUD 1945, terbukti dengan terbitnya UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang jelas-jelas bertujuan menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya sistem ekonomi liberal kapitalistik serta diterapkannya sistem ekonomi trickle down effect yang menguntungkan fihak konglomerat dan tidak berpihak kepada kepentingan dan partisipasi rakyat yang nota bene adalah pemegang kedaulatan negara.

Dari pengalaman selama 58 tahun kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945, lebih dari 50 tahun telah diterapkan sistem demokrasi liberal yang menyimpang dari platform Amanat Proklamasi (Pancasila dan UUD 1945), yang membuktikan tidak cocok bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia dan telah mengakibatkan terjadinya degradasi hampir di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Oleh karenanya secara arif dan bijaksana para pemimpin dituntut untuk segera sadar kembali pada platform perjuangan dan pembangunan negara Indonesia tersebut diatas, yaitu Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945.



3. Pemahaman Amanat Proklamasi 1945 :

Dari pengalaman sejarah tersebut diatas terlihat bahwa Pancasila dan UUD 1945 dapat ditafsirkan sesuai dengan kepentingan dan keinginan rezim yang sedang berkuasa.

Oleh karenanya perlu diupayakan kesepakatan nasional untuk penafsiran secara obyektif dan baku dari platform Amanat Proklamasi 45 sedemikan sehingga dapat dihindari tafsiran yang menyimpang dan bahkan kontradiktif terhadap nilai-nilai dasar dari platform tersebut.

Bagi bangsa Indonesia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kenyataan sejarah adalah kehendak Tuhan. Begitu pula Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 adalah kenyataan sejarah yang merupakan pertanda zaman bagi bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa nasib bangsa Indonesia akan berubah dan berbalik dari sengsara akibat imperalisme dan feodalisme menjadi bahagia berdasar cita-cita luhurnya.

Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 adalah merupakan titik balik sejarah, dari status terjajah dan terhinakan berbalik menjadi status merdeka dan termuliakan. Hanya perlu diingat bahwa proses pembalikan status tersebut bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.

Pernyataan “kemerdekaan” nya dalam kalimat alinea pertama Proklamasi mempunyai makna hakiki yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pandangan hidup, sebagai filsafat, sebagai dasar negara, sebagai ideologi maupun sebagai suatu sistem kehidupan umat manusia.

Pernyataan pemindahan “kekuasaan“ dalam kalimat alinea kedua Proklamasi mempunyai makna pengalihan, pemberian dan pembagian kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 antara negara dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan ( pasal 1 ayat (2) ). Pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat yang diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat dari UUD 1945 menunjukkan bahwa masing-masing memperoleh kekuasaan sebesar 70 %. Dalam gambar grafis superposisi dari kedua kekuasaan menghasilkan tiga bentuk pengelolaan kekuasaan, yaitu 30 % murni pengelolaan kekuasaan negara, 30 % murni pnegelolaan kekuasaan rakyat (atau hak hidup rakyat), dan 40 % pengelolaan bersama (sharing dari negara dan rakyat) dalam bentuk koperasi.

Dalam aspek ekonomi pengelolaan bersama merupakan pengelolaan koperasi berskala nasional yang modalnya dihimpun bersama antara rakyat dan negara.



4. Ekonomi Pancasila (Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila) :

Dalam hal Pancasila sebagai suatu pandangan hidup maka sila-silanya merupakan sudut-sudut pandang atau aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

1). Ketuhanan Yang Maha Esa


merupakan aspek spiritual

2). Kemanusiaan yang adil dan beradab


merupakan aspek kultural

3). Persatuan Indonesia


merupakan aspek politikal

4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan


merupakan aspek sosial

5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


Merupakan aspek ekonomikal

Kelima sila tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan tersusun secara hirarkis dan berjenjang yaitu sila pertama meliputi sila kedua, sila kedua meliputi sila ketiga, sila ketiga meliputi sila keempat dan sila keempat meliputi sila kelima. Atau sebaliknya dapat dikatakan sila kelima merupakan derivasi sila keempat, sila keempat merupakan derivasi sila ketiga, sila ketiga merupakan derivasi sila kedua dan sila kedua merupakan derivasi sila pertama (Prof. Dr. Notonegoro).

Dengan demikian maka ekonomi Pancasila telah mengandung seluruh nilai-nilai moral Pancasila dan mengacu pada seluruh aspek kehidupan sila-sila dari Pancasila.

Sesuai gambar grafis superposisi pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat tersebut diatas, maka ekonomi Pancasila mewujud dan terdiri atas 3 (tiga) pilar sub sistem, yaitu :

(1). pilar ekonomi negara yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan tugas negara dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, (negara kuat), dengan tugas pokok antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

(2). pilar ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi (sharing antara negara dan rakyat) dan berfungsi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (home front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kehidupan layak bagi seluruh anggotanya.

(3). pilar ekonomi swasta yang berfungsi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia (battle front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kemajuan usaha swasta yang memiliki daya kompetisi tinggi di dunia internasional.

Pengertian kompetisi dalam moral Pancasila bukan dan tidak sama dengan free fight competition a la barat yang di dalamnya mengandung cara-cara yang boleh merugikan fihak lain (tujuan menghalalkan cara).

Hubungan dagang dalam sistem ekonomi Pancasila harus tetap dalam kerangka untuk menjalin tali silaturahmi yang selalu bernuansa saling kasih sayang dan saling menguntungkan, menghindarkan kemuspraan (kesia-siaan).

Pola pengelolaan dari masing-masing pilar ekonomi tersebut berbeda dan membutuhkan kemampuan para pelaksana secara profesional agar hasilnya menjadi optimal sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap mendasarkan kerjanya pada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja pada masing-masing pilar. Masing-masing pilar mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk saling kerjasama dan saling bantu tanpa merugikan salah satu fihak.



5. Koperasi Indonesia :

Berbeda dengan koperasi pada umumnya, maka koperasi yang dimaksud oleh Pancasila dan UUD 45, sesuai gambar grafis superposisi tersebut diatas adalah merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu Masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.

Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan “homo ekonomikus” melainkan lebih bersifat “homo societas”, lebih mementingkan hubungan antar manusia ketimbang kepentingan materi/ekonomi (Jawa: Tuna sathak bathi sanak), contoh : membangun rumah penduduk dengan sistim gotong-royong (sambatan). Akibatnya di dalam sistem ekonomi liberal orang asli Indonesia menjadi termarginalkan tidak ikut dalam gerak operasional mainstream sistem ekonomi liberal yang menguasai sumber kesejahteraan ekonomi sehingga sampai kapanpun rakyat Indonesia tidak akan mengenyam kesejahteraan.

Oleh karena itu sistem ekonomi yang cocok bagi masyarakat Indonesia adalah sistem ekonomi tertutup yang bersifat kekeluargaan atau ekonomi rumah tangga, yaitu bangun koperasi yang menguasai seluruh proses ekonomi dari hulu hingga hilir, dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.

Dengan demikian maka koperasi betul-betul menguasai sumber kesejahteraan/rejeki dari sistem ekonomi itu dan dapat mendistribusikannya secara adil dan merata kepada seluruh anggotanya tanpa kecuali, tetapi sangat dipersyaratkan bahwa sistem pengeloaannya haruslah benar dan tertib tanpa kecurangan.

Sebagai contoh pengalaman atas pengelolaan sebuah koperasi yang benar dan tertib adalah Kosudgama (Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada).


Dari pengalaman KOSUDGAMA dapat ditarik pelajaran bahwa:

Pertama : kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip koperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota.

Kedua : KOSUDGAMA adalah koperasi kumpulan orang, bukan organisasi yang terutama dibentuk untuk menghimpun modal, jadi memenuhi prinsip-prinsip dasar koperasi.

Dengan demikian sebagai salah satu pilar dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi Indonesia merupakan sakaguru perekonomian rakyat yang paling strategis untuk menjamin terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Gambaran lebih konkrit dari wujud Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur adalah apabila setiap anggota keluarga memperoleh penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupan keluarga dengan cukup dalam memenuhi 5 jenis kebutuhan dasar hidupnya, yaitu di bidang 1.pangan (cukup gizi), 2.pakaian (pantas, sehat, sopan), 3.perumahan (sehat, aman, nyaman), 4.kesehatan (fisik, mental, lingkungan), dan 5.pendidikan (gratis selama 9 – 15 tahun pertama).

Pengelolaan untuk memenuhi kelima jenis kebutuhan dasar anggota koperasi itu dapat diatur untuk memenuhi 5 jenis kebutuhan pokok yang lain, yaitu : 1.penyediaan lapangan kerja, 2.jaminan sosial, 3.transportasi dan komunikasi, 4.informasi dan pengetahuan umum, 5.pengembangan pribadi. Peningkatan kebutuhan-kebutuhan lain ini akan dapat semakin meningkatkan pendapatan keluarga dan sekaligus untuk memanfaatkan potensi kinerja yang dimiliki tiap anggota koperasi yang hingga kini masih tersia-siakan karena tidak terprogram.

Andil dari negara adalah hak guna pemanfaatan kekayaan alam baik di darat maupun di laut yang dibutuhkan oleh koperasi dalam rangka melaksanakan tugasnya untuk memenuhi kelima kebutuhan dasar hidup maupun kelima kebutuhan pokok para anggotanya, dan berupa fasilitas kemudahan bagi terselenggaranya kerja koperasi antara lain modal dana baik hibah maupun pinjaman lunak.



6. Pengelolaan Koperasi Indonesia :

Sebagaimana disebutkan di depan bahwa koperasi Indonesia sebagai lembaga ekonomi yang mampu mewujudkan Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur apabila dikelola secara benar dan tertib. Oleh karena itu perlu diberikan arah dan pedoman yang benar agar selalu dapat dikendalikan dan diluruskan setiap kali terjadi penyimpangan.

Sebagai arahan yang benar antara lain dapat dikutipkan beberapa Kesimpulan dan Penutup” dari penulisan “Sistem Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila” (bab 3) dalam buku EKONOMI PANCASILA (Landasan Pikir & Misi Pendirian) PUSTEP UGM sebagai berikut :

a. Reformasi ekonomi mempunyai tujuan kembar yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dan sekaligus menghapus berbagai ketidakadilan ekonomi dengan tujuan akhir terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

b. Reformasi ekonomi Indonesia adalah pembaruan berbagai aturan main tentang hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat. Aturan-aturan main ini secara keseluruhan dibakukan dalam Sistem Ekonomi Pancasila.

c. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancsila yang akan memperkuat jati diri dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia.

d. Ideologi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945, merupakan pegangan dan landasan strategi pembangunan nasional. Namun demikian strategi pembangunan nasional yang dilandasi ideologi nasional Pancasila belum pernah benar-benar diterima dan dilaksanakan secara ikhlas oleh seluruh warga bangsa.

e. Visi masa depan yang jernih hanya dapat diproyeksikan dengan menggunakan ideologi Pancasila yang setiap pelakunya berusaha mewujudkannya dalam tindakan konkrit kehidupan sehari-hari terutama dengan menunjuk pada ajaran-ajaran moral agama.

Dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2 UUD 1945), tanpa kecuali. Pengertian Ini mengandung konsekuensi bahwa segenap tenaga kerja Indonesia harus habis terserap dalam sistem ekonomi Pancasila yang terdiri atas tiga pilar ekonomi tersebut.

Dalam pilar ekonomi negara unsur tenaga kerjanya tentu selektif dan terbatas. Begitu pula dalam pilar ekonomi swasta kebutuhan tenaga kerjanya tentu juga selektif dan terbatas karena harus mampu bekerja secara efisien, efektif dan produktif guna mencapai daya saing yang cukup tinggi dalam dunia perdagangan dan usahanya.

Apabila dalam kedua pilar tersebut diatas kebutuhan tenaga kerjanya terbatas maka dalam pilar ekonomi rakyat atau koperasi penyerapan tenaga kerjanya tidak boleh terbatas karena tidak boleh terjadi adanya tenaga kerja yang tidak mendapat pekerjaan. Sebagai konsekuensinya maka segenap warga negara harus menjadi anggota koperasi Indonesia.

Dengan demikian maka pola pengelolaan koperasi Indonesia dituntut untuk mampu menciptakan suatu sistem manajemen sedemikian sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Untuk keperluan itu dibutuhkan bantuan dari Lembaga Perguruan Tinggi yang terkait dengan masalah tersebut.



7. Penutup :



a. Kesimpulan :

Dari uraian singkat tersebut diatas secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut :

1). Penyelenggaraan koperasi yang terjadi hingga sekarang di Indonesia belum sesuai dengan maksud Amanat 1945, yaitu Ekonomi Pancasila, oleh karenanya belum mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

2). Sistem koperasi Indonesia yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Amanat 1945 diyakini dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, karena semua unsur-unsur yang diperlukan bagi penyelenggaraannya sudah tersedia di dalam negeri, tinggal sistem pengelolaan beserta aturan mainnya.

3). Diperlukan pemikiran-pemikiran baru dan konsep-konsep baru yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan dasar sebagaimana dimaksud dalam pengertian Amanat 1945 sehingga rakyat/setiap warga negara dapat dijamin untuk memperoleh hak-haknya melalui keanggotaannya dalam koperasi Indonesia.

4). Diperlukan persiapan yang matang bagi terselenggaranya sistem koperasi Indonesia melalui studi induktif logis maupun deduktif baik formal maupun tradisional kultural.

5). Diperlukan pengertian dan goodwill dari Pemerintah dan semua fihak untuk mengerti dan mendukung serta berpartisipasi aktif dalam usaha pengembangan konsep baru ekonomi Pancasila agar dapat segera mengatasi krisis multi demensional yang terjadi selama ini.



b. Pendapat dan Saran :

Karena konsep baru dari sistem ekonomi Pancasila sudah didasarkan atas hukum-hukum dasar yang berlaku di Indonesia sesuai dengan Amanat 1945, maka perlu ditentukan tahap-tahap langkah kerjanya dan kemudia direntang dalam jadwal kegiatan dan waktu untuk diarahkan kepada kesepakatan pembakuan nasional menjadi konsepsi nasional untuk kemudian dioperasionalkan.



*) Disampaikan pada Seminar Bulanan ke-5 PUSTEP-UGM, Yogyakarta 3 Juni 2003.
Oleh: Ir. Hariyono -- Mantan Pengurus Kadin Yogyakarta

EKONOMI PANCASILA UNTUK MENEBUS DOSA-DOSA EKONOM INDONESIA

1. A basic, if not the basic, function of economic theory is to explain (Boylan & O’Gorman, 1995: 1)



2. Without philosophy science loses its social direction; without science, philosophy ceases to be socially relevant (Katouzian, 1980: 1)



3. Economics is in crisis ... it is a mistake to believe that economic science had been capable of an adequate analysis of – and prescription for – economic problems until there suddenly appeared a seemingly inexplicable crisis! (Katouzian, 1980: 4).



4. It was in thinking about how to tell the story of that evolution that I came to the conclusion that the term neoclassical must die. Modern economics is fundamentally different from neoclassical economics, and if we are to tell the story of modern economics effectively, we must have a term for modern economics that makes that point. (Colander, 2002: 142)



5. Economists like to think of themselves as the physicists of the social sciences and they are. Like physicists they are political animals, in love with conferences and competition. They are hedgedogs not foxes.... They like to colonize other fields the way biology was colonialized after the war by physicists ashamed of making bombs. And economists are approximately as arrogant about their neighboring fields as physicists (Boylan & O’Gorman, 1995: 46)



6. The occasional failures of economies to respond as economic theory predicts occur because the relevant policy-makers either applied the theory badly, or were using out-of-date economics (Keen, 2001:4)



7. Since this textbook rendition of economics is also profoundly boring many students do no more than an introductory course in economics, and instead go on to careers in accountancy, finance or management – in which, nonetheless, many continue to harbour the simplistic notions they were taught many years earlier (Keen, 2001: 5)


Pendahuluan

Masyarakat Indonesia pantas mengeluh karena “krisis ekonomi” tidak kunjung teratasi meskipun telah berlangsung lebih dari 5 tahun. Pakar-pakar ekonomi kita rupanya hampir tidak ada yang merasa bersalah meskipun sebagai ilmuwan banyak diantaranya menjadi ekonom “atas biaya negara”. Karena uang negara atau uang rakyat telah menjadikan mereka tokoh-tokoh ekonom yang dimiliki bangsanya, sulit dimengerti jika mereka tidak memiliki kesadaran dan tanggung jawab atas upaya-upaya mengatasi “krisis ekonomi” yang berkepanjangan ini.[2]

[1] Makalah Untuk Seminar Bulanan ke-6 PUSTEP-UGM, 1 Juli 2003.

[2] Istilah “krisis ekonomi” sendiri sebetulnya tidak tepat karena pertumbuhan ekonomi negatif hanya terjadi 1 tahun, dan tidak merata untuk seluruh daerah di Indonesia, dan inflasi tinggi juga hanya terjadi tahun 1998 saja. Istilah yang lebih tepat adalah “krisis keuangan” atau “krisis perbankan”.

Jika dalam era Orde Baru mulai 1966, teknokrat ekonomi, diangap berhasil “luar biasa” mengatasi krisis ekonomi saat tumbangnya Orde Lama, dengan inflasi 650%, pemilikan devisa mendekati nol, serta kekurangan pangan di mana-mana, maka kini dengan “pengangguran” yang mendekati tingkat “mengerikan”, dan utang-utang pemerintah yang hampir sama besarnya dengan PDB satu tahun, tokh para ekonom masih nampak “bisa tidur nyenyak”. Mengapa demikian? Makalah ini akan menjajagi aneka rupa sebab para ekonom kita nampak “tidak berdaya” menghadapi tantangan ekonomi yang dihadapi bangsanya. Dan yang paling merisaukan justru di antara mereka banyak yang tetap bersemangat “belajar” lagi dari ekonom-ekonom asing yang dianggapnya lebih mampu mencarikan pemecahan masalah-masalah ekonomi kita. Misalnya, dalam kongres ISEI ke XV di Malang tanggal 13-15 Juli 2003 mendatang, diundang ekonom-ekonom asing yang rupanya diharapkan lebih mampu secara ilmiah dan obyektif menemukan obat-obat jitu mengatasi “krisis ekonomi” kita. Menurut mereka masalah ekonomi dan keuangan kita tidak “khas” Indonesia, tetapi sama saja dengan masalah yang dihadapi Thailand, Korea, atau Argentina.


Ekonomi yang Mendekati Ilmu "Agama"

Meskipun belum ada ekonom Indonesia yang berhasil membuktikan ilmu ekonomi bukan lagi ilmu sosial, dalam praktek penerapannya makin banyak ekonom yang merasa kurang gagah jika tidak mampu menyatakan pikirannya dalam model-model matematika. Bahkan sudah mulai ditawarkan ekonofisika yang ingin menunjukkan adanya gejala-gejala ekonomi yang mendekati sifat-sifat alam. Dampak dari perkembangan matematisasi ekonomi jelas yaitu makin ditinggalkannya upaya mengamati faktor-faktor sosial non-ekonomi untuk menerangkan aneka gejala ekonomi. Dengan menggunakan model-model matematika ekonomi dan menggunakan program-program dan model-model kuantitatif dengan bantuan komputer, banyak ekonom sangat percaya pada hasil-hasil perhitungan makroekonomi kuantitatif untuk “meramal” masa depan ekonomi Indonesia. Ini sungguh merisaukan. Jika matematisasi ekonomi sudah cukup merisaukan, kecenderungan yang lebih berbahaya lagi adalah adanya “larangan tersembunyi” untuk berpikir dan bersikap kritis-kreatif terhadap hukum-hukum dan teori ekonomi konvensional yang sudah mapan. Asumsi-asumsi teori ekonomi yang tidak realistis pun, karena didasarkan pada abstraksi manusia ekonomi Barat (homo-ekonomikus), “dilarang” untuk dipertanyakan. Meskipun kini makin banyak ditulis kesadaran ekonom Barat tentang tidak realistisnya asumsi rasionalitas homo ekonomikus, tokh di Indonesia para ekonom tetap bersikukuh tentang “kebenaran” asumsi-asumsi tersebut, sehingga seorang mantan Ketua Umum ISEI berani menyatakan “orang Amerika dan orang Indonesia sama saja, sama-sama homo ekonomikus”.

Saya sangat khawatir bahwa kekhawatiran Colander & Klamer berlaku bagi ekonom Indonesia yang dihasilkan Fakultas-fakultas Ekonomi kita.

The Department of Economics are graduating a generation of idiots savants, brilliant at esoteric mathematics yet innocent of actual economic life (Colander & Klamer, The Making of an economist, 1987: 95)

Kekhawatiran bahwa ilmu ekonomi dianggap sebagai ilmu yang mendekati agama secara sangat meyakinkan ditulis oleh Robert Nelson dalam bukunya “Economics as Religion” (Pennsylvania State, 2001), yang selanjutnya menyatakan Paul Samuelson lebih berhasil sebagai “Nabi” ketimbang sebagai “ekonom”. Akibatnya ekonom Indonesia pun tidak pernah merasa perlu menguasai keahlian khusus memecahkan masalah-masalah ekonomi yang dihadapi bangsanya. Dan Pancasila ideologi bangsa pun yang telah dua kali “menyelamatkan” Indonesia (1945 dan 1966) dianggap “tidak ada apa-apanya”, dan “terlalu naif memikirkan sistem Ekonomi Pancasila”.

Economists did not create their current role in society. They have been following a script prescribed by the broader rituals of the religion of economic progress (Nelson 2001: 332).


Landasan Ekonomi Pancasila

Jika ekonom Indonesia pada umumnya kami anggap “berdosa” telah tidak menunaikan kewajiban sosial dan moralnya sebagai warga masyarakat, maka mereka jelas telah “berdosa” karena “membiarkan” krisis ekonomi berlanjut lebih dari 5 tahun tanpa upaya-upaya nyata yang “khas” Indonesia. Tanpa malu-malu dan dengan biaya mahal mereka mengundang “dokter spesialis IMF” yang dianggap berkemampuan hebat untuk mengatasi masalah ekonomi dan keuangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Setelah 5 tahun gagal membantu memecahkan masalah ekonomi Indonesia, masih saja ada yang percaya untuk memperpanjang praktek kerjanya “sampai berhasil”.

Marilah kita bekerja dengan realitas yang ada. Suara-suara yang menyatakan kapok berhubungan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) adalah suara-suara yang tidak memahami kenyataan. Justru bangsa ini seharusnya malah bersyukur karena di saat-saat krisis ini masih ada IMF yang mau mengulurkan bantuan dan memberi utang. Sulit dibayangkan apa jadinya krisis ekonomi ini tanpa kehadiran bantuan IMF. [3]

[3] Moh. Sadli, “Sedang Terbatuk hingga Hidden Economy”, Kompas, Minggu 19 Januari 2003, hal. 31.

Kekeliruan ekonom Indonesia yang terlalu percaya pada obat-obat ala ekonomi “Neoklasik” Barat sebenarnya sudah sangat jelas. Tokh para ekonom ini masih bersikukuh bahwa yang salah bukan ilmu atau teori ekonomi tetapi sekedar pelaksanaannya. Misalnya mereka justru makin bernafsu meningkatkan liberalisasi ekonomi dan privatisasi BUMN, karena hanya dengan melaksanakan secara total “Washington Consensus” (1989) sebagaimana dianjurkan dokter spesialis IMF, maka “krisis ekonomi Indonesia akan teratasi”. Juga banyak ekonom menganggap Indonesia harus melaksanakan komitmen AFTA dan WTO meskipun tanda-tanda kerugian dan penderitaan petani padi dan petani tebu sudah nampak jelas jika “komitmen” tersebut dilaksanakan. Pemerintah Indonesia masa lalu yang menandatangani komitmen AFTA adalah pemerintah yang tidak mengerti ekonomi rakyatnya, yang tidak peduli pada nasib rakyatnya, karena merasa perlu berpihak pada kepentingan ekonomi para konglomerat yang diharapkan menjadi “wakil” Indonesia dalam era globalisasi. “Harapan” ini setelah terjadi krismon jelas menjadi “harapan kosong”. Meskipun para konglomerat kini sudah berguguran, tetap saja pemerintah tidak berdaya dan tidak menyadari kekeliruannya, karena eks konglomerat ini telah berhasil “menyandera” pemerintah sekarang. Kesediaan pemerintah untuk mengeluarkan obligasi rekapitalisasi perbankan senilai Rp650 trilyun adalah bukti dari ketidakmampuannya untuk membebaskan diri dari “penyanderaan” tersebut. Maka dosa-dosa ekonom Indonesia makin bertambah karena mereka telah memberikan obat-obat mengatasi krisis ekonomi Indonesia berupa resep-resep yang tidak saja tidak menyembuhkan, tetapi malah “makin memperparah kondisi pasien”, ekonomi Indonesia.


Ilmu Ekonomi Positive yang Tidak Realistis endahuluan

Dosen-dosen ekonomi Indonesia juga bersikukuh tidak (mungkin) mengajarkan ilmu atau teori ekonomi normative (das sollen) seperti Ekonomi Pancasila, tetapi hanya “diperbolehkan” mengajarkan ilmu atau teori ekonomi positive (das Sein).[4] Mereka tidak menyadari bahwa ilmu/teori ekonomi positive dari buku-buku teks adalah “positive di Barat” karena contoh-contohnya juga diambil dari dunia Barat, yang seharusnya dianggap ilmu/teori ekonomi normatif bagi kondisi ekonomi masyarakat timur seperti halnya Indonesia. Mereka, dosen-dosen ekonomi, tetap bersikukuh bahwa krisis moneter dan krisis ekonomi sama sekali tidak diakibatkan oleh ilmu/teori ekonomi dan kebijakan yang salah. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan dan strategi “pemulihan” dari kondisi krisis juga tidak membutuhkan teori yang berbeda yaitu teori ekonomi konvensional. Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang rendah (3-4% per tahun) adalah, menurut mereka, “karena investasi yang merosot terutama dari investor asing”, sehingga tahun 2003 dicanangkan sebagai tahun investasi untuk menggairahkan lagi investasi. Yang benar, investasi yang merosot adalah investasi-investasi besar dengan kredit bank termasuk modal asing yang beredar di pasar modal, sedangkan investasi ekonomi rakyat Indonesia telah terus-menerus meningkat. Para ekonom “Neoklasik” konvensional umumnya tidak mau secara jujur mengakui bahwa banyak investasi besar di masa Orde Baru adalah investasi tidak produktif seperti di sektor properti dan di pasar uang dan pasar modal.

[4] Menurut Nassau Senior, perbedaan antara positive economics dan normative economics sangat mudah dipahami yaitu yang pertama berarti analisis ekonomi murni (pure analysis), sedangkan yang kedua nasihat politik (political advice). Jadi keduanya “sah” untuk dipelajari atau diajarkan dalam ilmu ekonomi terapan.

Realistis atau tidaknya sebuah teori ekonomi terkait erat dengan realistis atau tidaknya asumsi-asumsinya, yang pada gilirannya terlihat pada tercapai tidaknya tujuan atau sasaran kebijakan yang diturunkan dari teori-teori itu. Jika teori ekonomi di dasarkan pada asumsi manusia rasional (homo ekonomikus) dan pasar persaingan sempurna, padahal dalam kenyataan petani Indonesia tidak semata-mata berpikir rasional tetapi juga berpikir “emosional-spiritual” dalam kondisi persaingan monopolistik, tentu sasaran yang dirumuskan tidak akan tercapai. Itulah sebabnya kita tidak mungkin mengharapkan tercapainya sasaran-sasaran ekonomi kuantitatif tertentu jika kita sadari bahwa asumsi-asumsi tersebut kita dasarkan pada nilai-nilai non-Indonesia (dari Barat). Oleh sebab itu mutlak diperlukan teori-teori yang didasarkan pada penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia agar kebijakan-kebijakan, strategi, dan program-program yang kita rumuskan lebih realistis dan dapat mencapai sasaran-sasaran yang kita tetapkan.[5]

... not everything that looks like an economic activity is necessarily a part of economics .... Obviously in every society things are produced, distributed, and consumed; but only in modern societies are prices and products, conditions of ownership and work, predominantly shaped by the laws of economic efficiency (Wolfgang Sachs, dalam Ekins & Max-Neef , Real-life Economics, 2001: 6)

[5] Alfred Marshall dalam Principles of Economics (1890) mengutip Gustave Schmoller, menegaskan bahwa metode induktif dan deduktif adalah laksana dua kaki untuk berjalan, keduanya harus dipakai secara bersama-sama.


Positivisme dan Realisme Ekonomi Indonesia

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar yang mengacu pada ideologi Pancasila. Artinya mekanisme bekerjanya (sistem) ekonomi Pancasila didasarkan pada data-data riil ekonomi Indonesia dan tindakan pelaku-pelaku ekonomi yang moralistik, sosio-nasionalistik, dan sosio-demokratik. Ekonomi Pancasila bukanlah ekonomi normative (das sollen) tetapi ekonomi positive (das sein) sekaligus normative, karena menggambarkan secara riil perilaku nyata manusia Indonesia yang merupakan homo socius, homo ethicus, sekaligus homo ekonomikus, dalam sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Ekonomi Pancasila menganut aturan main mekanisme pasar yang moralistik di mana manusia pelaku ekonomi tidak bersikap serakah atas alam benda, tetapi sebagai kalifah atau wakil Tuhan di dunia, yang selalu berusaha menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan badan, pikiran, dan spiritual, di dunia dan akhirat. Dalam perekonomian Pancasila pemilikan manusia atas barang-barang tidak bersifat mutlak sehingga tidak ada bagian masyarakat yang terpaksa hidup miskin dengan mengharapkan belas kasihan dari bagian penduduk lain yang hidup mewah.

Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa batas. (An Nuur: 38);



Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. (Thaahaa: ayat 118);



Dia memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya (Asy Syura: 19);



Allahlah yang menciptakan kamu kemudian memberimu rezeki (Ar Rum: 40)

Merenungkan Firman-firman Allah dalam Al Quran ini menjadi jelas bahwa semangat individualisme dalam kepemilikan aset seperti yang diajarkan dalam teori ekonomi Neoklasik “bertentangan” dengan ajaran agama.

Gambaran ekonomi Pancasila yang moralistik dan theologis bagi sementara “ekonom keblinger” memberikan kesan bahwa sistem ekonomi ini hanya ada di surga, yang tidak ditemukan di dunia nyata. Kesan yang demikian mungkin tidak keliru. Namun melalui penelitian empirik yang mendalam, terutama di perdesaan, gambaran ekonomi “ideal” ini tidak sulit ditemukan karena di desa-desa masih dengan mudah ditemukan kehidupan ekonomi gotong-royong “kooperatif” berdasar kekeluargaan, meskipun unsur-unsur sistem pasar sudah sangat berkembang. Sistem ekonomi pasar di Indonesia tidak harus bersifat liberal dan kapitalistik sebagaimana nampak di kota-kota dengan semangat keserakahan yang tinggi.


Suku Bunga Tinggi Bank Indonesia Tidak Mengerti

People of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices (Adam Smith, 1776: 144)

Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution yang juga salah seorang ketua ISEI menyatakan “tidak mengerti” mengapa perbankan masih menerapkan suku bunga kredit yang tinggi, padahal SBI sudah terus turun. NPL (kredit bermasalah) juga sudah turun. “Menurut teori, tingkat suku bunga sama dengan cost of fund ditambah biaya intermediasi ditambah resiko kredit macet. Sekarang resiko kredit macet sudah turun sekali, cost of fund sudah menurun, masak tingkat suku bunga kredit tidak turun?” (Kompas, 27 Juni 2003: 27)

Jika Anwar Nasution benar-benar tidak mengerti maka yang dilupakan adalah “fatwa” Bapak ilmu ekonomi Adam Smith yang kita kutip di atas, yang artinya pengusaha perbankan, dan pengusaha pada umumnya, tidak pernah dapat diharapkan memikirkan kepentingan umum, justru yang selalu dilakukan adalah bersekongkol (conspiracy) untuk “melawan kepentingan umum atau menemukan cara-cara untuk menaikkan harga”, agar keuntungan mereka meningkat. Bahwa bank-bank kita sebagian terbesar adalah BUMN ternyata instink bisnisnya tidak berbeda dengan sifat-sifat bisnis yang sudah “diramal” oleh Adam Smith 227 tahun yang lalu. Bahwa BI sebagai otoritas moneter menurut Deputi Senior Gubernur “tidak bisa berbuat apa-apa”, hanya mengkonfirmasi thesis kita tentang telah menjadi terlalu liberal-nya sistem ekonomi dan perbankan kita. Akibatnya jelas tujuan Ekonomi Pancasila untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia selalu terhalang. Bahkan dalam kaitan yang sama, Menko Kesra Yusuf Kalla juga memberikan kesan “tidak dapat berbuat apa-apa” menyaksikan ketidakadilan dalam pemberian kredit perbankan. “Pengusaha besar dapat memperoleh kredit besar dengan bunga rendah, pengusaha kecil dan mikro mendapat kredit kecil (dengan susah payah) dengan dikenai bunga tinggi”. Inilah “dosa-dosa” teori ekonomi dan ekonom yang mempercayai dan menerapkannya. Betapapun mereka, para ekonom, memegang kekuasaan yang memiliki wewenang untuk mengatur dan menentukan kebijakan ekonomi dan keuangan yang adil, tokh mereka terpaksa tunduk pada apapun yang dilakukan para pengusaha (besar), meskipun jelas-jelas semuanya mengakibatkan terjadinya ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan sosial. Apabila aturan main Ekonomi Pancasila dijadikan pegangan para pelaku ekonomi termasuk di dunia perbankan, maka pedoman moralnya jelas kekeluargaan, sosio-nasionalistik, dan sosio-demokratik, serta manusia tunduk pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.


Penutup

Economists today are being pushed to accept that they may have to take up the role of religion if they want to understand the full workings of economic systems (Nelson 2001: 206)

Bisa dipahami bahwa akhir-akhir ini makin berkembang pemikiran dan praktek “bank-bank syariah” yang berarti secara serius memasukkan ajaran-ajaran agama Islam dalam praktek-praktek perbankan kapitalis yang telah mengakibatkan krisis moneter dan krisis perbankan, yang sampai 5 tahun tetap belum teratasi. Bahkan upaya pemerintah menyelamatkan perbankan nasional dengan mengeluarkan dana-dana amat besar (obligasi rekap perbankan melebihi 50% PDB), tokh tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhasil, selama ajaran-ajaran agama tidak dipergunakan dalam upaya penyelamatan tersebut.

Di kalangan agama-agama lain (Katolik dan Hindu) juga makin intensif dibahas peranan nilai-nilai agama untuk membendung ajaran-ajaran ekonomi neoliberal yang meluas melalui globalisasi yang makin merajalela.

Yang dapat dilakukan oleh gereja adalah mendidik umat bersama masyarakat agar semakin bersedia melepaskan diri dari keserakahan modernisme, konsumerisme, dan kolonialisme kultural ke arah pemahaman tanggung jawab bersama (Konpernas XIX Komisi PSE-KW I, September 2002).

Nilai-nilai agama kini dianggap banyak orang merupakan satu-satunya cara untuk menantang ajaran-ajaran neoliberal ini karena paham ekonomi kapitalis dari Barat juga telah menyebarluaskan ajaran-ajarannya “melalui dan dengan metode-metode agama”.

The real task of Samuelson’s Economics was of this kind; it was to provide an inspirational vision of human progress guided by science in order to motivate Americans and other people to the necessary religious dedication to the cause of progress. (Nelson 2001: 71).

Ekonomi Pancasila adalah ajaran ekonomi baru yang agamis sekaligus manusiawi, nasionalistik, dan demokratis, untuk menantang kerakusan ajaran Neoliberal yang semakin rakus. Bahwa Depdiknas melalui Dirjen Pendidikan Tinggi memberikan dukungan kuat pada Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM untuk mengembangkan ajaran-ajaran ekonomi Pancasila, membuktikan kebenaran perjuangan moral ini. Ajaran ekonomi Pancasila jelas paralel dengan ajaran Ekonomi Syariah atau ekonomi Islami karena keduanya menekankan pada ajaran moral-spiritual untuk membendung ajaran “agama ekonomi kapitalis Neoliberal”.

1 Juli 2003
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM