Senin, 17 Januari 2011

TIDAK ADA TEMPAT BUAT KOPERASI:jika tidak ada pengakuan bahwa ekonomi tidak hanya berdasarkan persaingan tetapi juga kerjasama

1. Jika seseorang berusaha sungguh-sungguh untuk mencari hakikat dari “koperasi” maka dapat dipastikan akan ‘bertemu’ dengan pemahaman mengenai ‘kerjasama’ dan ‘kebersamaan’. Dan memadukan keterbatasan sehingga diperoleh keleluasaan yang lebih besar, untuk menjangkau hal yang lebih baik –yang sulit terwujud jika dilakukan secara sendiri-sendiri; atau menghadapi tekanan pihak lain yang lebih kuat atau lebih besar. Oleh sebab itu, jika koperasi tidak diartikan sebagai wujud sistem, atau organisasi, atau mekanisme kerja, dari kerjasama dan kebersamaan maka sebenarnya koperasi hanya sebuah ‘toko’ atau ‘pabrik’ atau ‘kantor kas’ yang sama dengan toko, pabrik, dan kantor kas lainnya –hanya beda namanya saja.
2. Kerjasama dan kebersamaan itu sendiri juga memiliki dasar-dasar yang agung dan kokoh. Pertama, kerjasama dan kebersamaan adalah apa yang diajarkan oleh hampir semua agama. Islam menekankan pentingnya ‘ukhuwah’ dan ‘silaturrahmi’, agama lain mengajarkan untuk ‘cintai saudaramu seperti engkau mencintai dirimu sendiri’, dan seterusnya. Kedua, ‘bersama’ (dalam satu keluarga, dalam satu kaum) adalah harkat kemanusiaan. Setiap individu manusia, baik secara naluriah (instink) maupun atas panduan sosio-kulturnya akan selalu berusaha ‘bersama’ manusia lain dalam berbagai manifestasinya. Budaya Sunda misalnya, mengajarkan pentingnya menjaga keutuhan ‘batur sa kasur, batur sa dapur, batur sa sumur, dan batur sa lembur’; dan hal yang serupa akan mudah diperoleh dari berbagai sosio-budaya lain. Ketiga, kebersamaan adalah juga ‘raga’ dan ‘nyawa’ yang menjadi esensi dari keberadaan kita sebagai bangsa, sebagai suatu negara, sebagai suatu masyarakat. Apapun alasannya, kita telah ‘bersepakat’ untuk bersama, hidup dekat dengan satu lingkungan, menyepakati suatu ‘aturan’ kehidupan. Keempat, kerjasama dan kebersamaan juga menjadi unsur utama dalam membangun sebuah bentuk kedaulatan rakyat yang dilaksanakan melalui suatu mekanisme permusyawaratan dan perwakilan. Kebersamaan itu pula yang menjadi dasar bagi kita menghindari kedaulatan rakyat dari jebakan menjadi suatu yang mekanistik “50 persen tambah 1”, sekaligus panduan bagi kita –apabila mekanisme itu terpaksa diambil- untuk tidak boleh menganggap yang “50 persen kurang 1” lainnya itu sebagai tidak ada artinya. Kelima, kebersamaan pulalah yang menggerakkan hati nurani kita untuk peduli kepada kemanusiaan dan kerjasama menjadi paling ampuh untuk menegakkannya. Kebersamaan dan kerjasama –atau dapat pula menggunakan kata lain dalam Bahasa Indonesia: gotong-royong- sebenarnya adalah pandangan hidup kita.
3. Dengan keragaman manifestasi setara jumlah negara, suku bangsa, bahasa, adat istiadat, yang ada di dunia, nilai-nilai kerjasama dan kebersamaan sebenarnya bersifat universal. Sebagai contoh sederhana, kata “united” pada UN, USA, USSR, UAE, atau UK sudah menegaskan bahwa kebersamaan dan kerjasama diinginkan sebagai identitas dari negara-negara tersebut. Dan sungguh banyak contoh-contoh lain yang juga dapat memberikan kesimpulan yang sama. Bahkan hakikatnya, setiap ekosistem yang ada di bumi, apakah itu bernama hutan basah tropis, padang es antartika, gurun pasir, pegunungan batu, atau bentuk ekonsistem kebun belakang rumah, atau kolam rawa kecil di pinggir sungai, adalah suatu bentuk kebersamaan flora, fauna, jasad renik, dan unsur alam lainnya secara seimbang membentuk ekosistem itu.
4. Koperasi sebagai sebuah wujud dari kebersamaan dan kerjasama memang merupakan suatu yang universal. Prinsip dan jati diri koperasi juga bersifat universal. Prinsip dan jati diri koperasi juga bersifat universal. Namun manifestasinya (pengejawantahannya) dapat dan akan (can and will be) bersifat lokal, baik dalam bentuk kegiatan usaha, proses pengambilan keputusan serta sistem dan mekanisme kerja yang berlaku. Sifat ‘kekoperasian’ (cooperativism) dapat tumbuh subur –dan memang seharusnya demikian- tanpa harus dibatasi dengan badan hukum atau label organisasi koperasi. Sebaliknya, mereka yang menggunakan ‘label’ koperasi sebagai identitasnya maka terkandung tanggung jawab untuk menegakkan prinsip dan jati diri koperasi sekaligus memenuhi beberapa ‘persyaratan” organisatoris yang melekat dengan menggunakan identitas itu. Identitas atau label koperasi menjadi sarana (atau wahana) untuk menggunakan sifat universalnya sebagai energi positif bagi mereka yang membutuhkan.
5. Hal inilah (butir 4 di atas) yang selama sekitar 30 tahun terakhir telah terabaikan di Indonesia. Koperasi direnggut dari posisinya sebagai sarana organisasi untuk mengedepankan kebersamaan dan kerjasama, dan dijadikan sebagai sarana untuk kepentingan lainnya. Akibatnya, koperasi menjadi tidak identik dengan kebersamaan dan kerjasama. Yang ada adalah koperasi menjadi tercitrakan dan terkesan sebagai sesuatu yang birokratis, koruptif, penuh ketergantungan, gagal, dan hanya menjadi idiom politik ideologis (‘terpaksa ada karena ada di UUD’) yang tidak bermakna. Dan selama koperasi belum diposisikan secara sungguh-sungguh sebagai identitas dari sebuah ‘kebersamaan dan kerjasama’, maka selama itu pula koperasi akan sangat sulit berkembang.
6. Kondisi koperasi Indonesia yang “terjebak’ pada situasi seperti demikian, tampaknya disebabkan oleh faktor utama. Pertama, karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan (ignorance) atas apa sebenarnya yang dimaksud dengan koperasi, mengenai apa yang ada dalam pikiran Bung Hatta ketika mempromosikannya. Kedua, karena kepentingan pragmatis politik kekuasaan yang menggunakan segala cara, termasuk menggunakan koperasi sebagai bagian dari instrumen untuk melanggengkan kekuasaan itu. Koperasi menjadi bagian dari sebuah sistem untuk menjalankan “program-program” sebagai bagian dari kekuasaan birokrasi tersebut.
7. tetapi, ketiga, yang menjadi faktor paling menentukan, adalah karena pemikiran ekonomi didominasi oleh pemikiran mengenai ‘persaingan’ (competitive economi): bahwa rasionalitas ekonomi adalah maksimisasi kepuasan (individu)/maksimisasi keuntungan (perusahaan/privat) di antara keterbatasan sumber daya, bahwa yang lebih banyak selalu lebih baik, bahwa pasar bersaing sempurna adalah yang paling baik, bahwa kesejahteraan ekonomi ditentukan (hanya) oleh daya saing ekonomi. Dalam pemikiran “competitive economy” seperti itu, kerjasama dan kebersamaan seolah menjadi terabaikan bahkan menjadi suatu yang ‘salah’. Koperasi pun hanya dipandang sebagai sebuah ‘perusahaan’ yang harus memiliki rasionalitas yang sama dengan perusahaan lain (privat) seperti memiliki daya saing, efisien, menguntungkan, dan lain-lain, termasuk menghitung kontribusi koperasi dari ‘share’nya pada GNP.
8. apakah ‘persaingan’ merupakan hal yang sama sekali salah? Tentu tidak. Persaingan dalam arti ‘perlombaan untuk menjadi dan memberi yang lebih baik’ (bukan ‘membunuh’ atau ‘dibunuh’) tentu sangat positif dan harus dipupuk. Tetapi keberadaan ‘persaingan’ tersebut tidak kemudian menjadi ‘kerjasama’ harus disingkirkan. Persaingan (perlombaan untuk kebaikan) dan kerjasama ibaratnya dapat menjadi sepasang rel dimana kereta api ekonomi dapat berjalan dengan mantap, berkesinambungan, dan bermanfaat. Bahkan terminologi ‘coopetition’ menjadi suatu yang semakin disadari pentingnya.[1]

Dengan demikian, perjuangan untuk koperasi di Indonesia perlu disertai dengan perjuangan untuk meyakinkan para pemikir ekonomi bahwa ekonomi dalam praktek kesehariannya serta dalam tren perkembangannya ke masa yang akan datang tidak hanya dibangun oleh persaingan, tetapi juga dibangun oleh kerjasama dan kebersamaan. Tanpa itu, tidak akan ada tempat yang layak bagi perkembangan koperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini