Senin, 17 Januari 2011

GLOBALISME, POPULISME, DAN EKONOMI PANCASILA

The success of Indonesia’s economic policies confirmed the idea that, as much as possible, economic policies should be insulated from undue political influence. Moreover, experience has demonstrated that alternative schools of economic policy making, including communism, socialism, and even “supply side economics”, in the long run have all failed. In the meantime the field of neo-classical economics is progressing steadily. It is here that policy making should seek guidance in creating economic policies (Radius Prawiro, 1998:335)

In this precarious state, the government took the bold move of removing all restrictions on the flow of capital into and out of the country. Indonesia’s laws governing the flow of capital thus became some of the most liberal in the world, more so even than those of many of the most developed countries (Radius Prawiro, 1998:290).

Neo-Liberalism, in its extreme or revised form, presents us with a view of the world in which there are only two choices, an economy organized by markets or an economy organized by a dictatorial –or at best inept and inefficient- statist bureaucracy (MacEwan 1999:11)


Pendahuluan

Globalisasi mempunyai 2 pengertian pertama, sebagai deskripsi/definisi yaitu proses menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal (borderless market), dan kedua, sebagai “obat kuat” (prescription) menjadikan ekonomi “lebih efisien” dan “lebih sehat” menuju kemajuan masyarakat dunia. Dengan dua pengertian ini jelas bahwa menurut para pendukung globalisasi, atau bagi para penganut paham globalisme, “tidak ada pilihan” bagi setiap negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan sangat pesat. [1]

[1] Harian Kompas, Selasa 28 Januari memuat 2 artikel, pertama berjudul Dua Globalisasi oleh B. Herry Priyono dan kedua, Another world is Possible oleh A. Prasetyantoko

Benarkah pilihannya hanya dua sebagaimana dikemukakan paham Neo-liberalisme? Benarkah tak ada hak sama sekali bagi setiap negara untuk “berbeda” dengan menerapkan sistem ekonomi yang sesuai sistem nilai dan budaya negara-negara bersangkutan? Arthur MacEwan membantah keras pandangan “tidak ada pilihan” ini dengan secara tegas menyatakan:

Contrary to the claims of its proponents, there are alternatives to the neo-liberalism course, and these alternatives are far preferable in term of immediate and long term consequences (MacEwan 1999:8)

Herry Priyono dan Prasetyantoko dalam artikel di Kompas 28 Januari 2003 sepakat dengan MacEwan bahwa alternatif itu memang ada. Kami sendiri memberi judul buku kami bersama Daniel W. Bromley “A Development Alternative for Indonesia” untuk menegaskan adanya alternatif strategi bagi pembangunan Indonesia.

Lebih tegas lagi pernyataan James Petra dan Henry Veltmeyer dalam Globalization Unmasked bahwa “globalization is neither inevitable nor necessary” (Petras & Veltmeyer 2001:12). Artinya meskipun kekuatan globalisasi nampak “luar biasa”, tetap ada peluang bagi suatu negara seperti RC, India, atau Indonesia, untuk membuat aturan-aturan nasional yang dapat “membatasi” dan mengendalikan keserakahan globalisasi sehingga tidak merugikan kepentingan nasional negara yang bersangkutan.


Globalisasi vs Populisme

Tiga arus pemikiran pembangunan sejak Indonesia merdeka adalah nasionalisme negara, pragmatisme-liberalisme, dan kerakyatan/ populisme.[2] Pada tahap awal kemerdekaan, nasionalisme negara sangat kuat karena ada semangat besar mengubah perekonomian dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Tetapi setelah ekonomi komando kebablasan (1959 – 1966) keinginan melaksanakan demokrasi ekonomi yang kemudian juga kebablasan hanya dapat dikendalikan oleh menguatnya nasionalisme negara setelah Bonansa Minyak (1973 – 1980) membuat negara/pemerintah menguasai dana-dana pembangunan sangat besar untuk membiayai proyek-proyek strategis.

[2] Chalmers, Ian & Vedi R. Hadiz., 1997, The Politics of Economic Development in Indonesia, Routledge, London-New York.

Arus pemikiran ke-3, kerakyatan/populisme, yang sebenarnya diamanatkan kuat sekali dalam pasal 33 UUD 1945 (dan pasal 33 UUD 2002), dan ideologi Pancasila, selalu kurang bergema karena masih lemahnya LSM di Indonesia dan dominannya teknokrat ekonomi sejak Orde Baru. Sejak reformasi yang berusaha “menghancurkan” Orde Baru, yang belum dapat dikatakan berhasil, arus pemikiran kerakyatan/ populisme makin kuat dan secara eksplisit ditegaskan dalam Tap-Tap MPR dan UU tentang Propenas, yaitu sistem ekonomi kerakyatan.

Teknokrat ekonomi yang pada awal Orde Baru masih berjiwa kerakyatan/ populis dengan membela dan memihak Pancasila dan pasal 33 UUD 1945 seperti Emil Salim, yang pada tahun 1966 menulis artikel “Membina Ekonomi Pancasila”, ternyata kemudian tunduk pada paham liberalisme, lebih-lebih sejak menguatnya paham globalisasi pada tahun delapan puluhan. Tokoh-tokoh senior dari teknokrat ekonomi seperti Prof. Moh. Sadli selalu menyatakan ekonom-ekonom populis “tidak berpikir realistis” dan “tidak ilmiah”, dan pemikiran Ekonomi Pancasila dari sejumlah ekonom Universitas Gadjah Mada dikritik “membawa ekonomi surga ke dunia”.

Marilah kita bekerja dengan realitas yang ada. Suara-suara yang menyatakan kapok berhubungan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) adalah suara-suara yang tidak memahami kenyataan. Justru bangsa ini seharusnya malah bersyukur karena disaat-saat krisis ini masih ada IMF yang mau mengulurkan bantuan dan memberi utang. Sulit dibayangkan apa jadinya krisis ekonomi ini tanpa kehadiran bantuan IMF. [3]

[3] Moh. Sadli, “Sedang Terbatuk hingga Hidden Economy”, Kompas, Minggu 19 Januari 2003, hal. 31.

Pukulan amat telak terhadap paham kerakyatan/populisme terjadi pada tanggal 12 Januari 2003, dilontarkan oleh Presiden Republik Indonesia sendiri yang membela kebijakan menaikkan harga-harga BBM, tarif dasar listrik, dan telepon, sebagai kebijakan tidak populis (tidak memihak rakyat), tetapi “konstruktif” dalam jangka panjang. Sulit dipahami seorang Presiden secara terang-terangan menyatakan tidak memihak rakyatnya. Kebijakan yang demikian jelas mewakili arus pemikiran liberalisme dan globalisme yang bertabrakan langsung dengan arus pemikiran nasionalisme-negara maupun kerakyatan/populisme.


Hikmah Krisis Moneter

Orang Indonesia selalu berhasil menyatakan “untung” atas berbagai musibah. Maka, adakah alasan orang menyatakan “untung ada krismon”? Ternyata dalam segala kesusahan menghadapi globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi, bahkan termasuk meledaknya “bom Bali”, orang Indonesia masih mampu menyebutkan aspek keuntungannya. Seorang rekan ekonom dari AS menulis “A less globalized world might be better for Indonesia”! Jadi tanpa Indonesia susah-susah melawan serangan dahsyat globalisasi, krismon dan Bom Bali telah membantu Indonesia “mengusir atau mengurangi tekanan globalisasi” yang kenyataannya memang lebih merugikan ketimbang menguntungkan ekonomi Indonesia. Menghadapi kekuatan-kekuatan “anti globalisasi” ini para pendukung globalisasi berusaha dan berhasil mengundang IMF untuk memperkuat barisan. Kini yang terjadi di Indonesia adalah pergulatan (ilmiah dan ideologis) antara dua arus pemikiran yaitu mereka yang mendukung dan yang menentang globalisasi.

Kesimpulan kita di Indonesia tidak bisa lain, “jangan-jangan” krismon dan Bom Bali merupakan “Petunjuk Tuhan” bahwa globalisasi dan liberalisasi yang jelas-jelas merugikan sebagian besar rakyat Indonesia kenyataannya memang telah berjalan terlalu cepat sehingga “atas kehendak Tuhan”, krismon dan bom Bali “diturunkan” untuk memperingatkannya dan mengeremnya.

The region and the entire world need to carefully think through whether globalization has proceeded at too fast a pace for national societies, particularly developing ones, to make needed adjustments without undue dislocation and economic pain. (Morrison & Hadi Soesastro. 1998:23)

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Q.S. 17 Al Israa’: 16)
Liberalisasi Perbankan 1983-88

Jika kita baca dan renungkan kembali kekagetan Radius Prawiro tentang telah menjadi terlalu liberalnya peraturan masuk dan keluar modal ke dan dari Indonesia sejak pertengahan delapan puluhan, ketika yang bersangkutan menjabat Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Menko Ekuin, maka memang jelas telah terjadi gerakan tak terkendali dari liberalisasi dan globalisasi di negara kita. Jika diingat bahwa jumlah bank di Indonesia sebelum Pakto 88 hanya sekitar 100 buah, yang meningkat lebih 2 kali menjadi 240 bank pada tahun 1995, maka pengurangan jumlah Bank menjadi kurang dari 100 bank dewasa ini hanya mengkonfirmasi telah terjadi pertumbuhan jumlah bank yang kebablasan tersebut. Memang tepat yang pernah dikatakan David Cole dan Betty Slade (Building a Modern Financial System, 1996) bahwa sebenarnya di Indonesia bukannya terlalu banyak Bank, tetapi “terlalu banyak Bank yang tidak diawasi perkembangannya”. Ini berarti bahwa ketika banyak bank mengalami kesulitan likuiditas pada saat-saat awal krismon, kesalahan tidak sepenuhnya dapat ditimpakan kepada bank-bank itu tetapi juga pada Bank Indonesia (dan Departemen Keuangan) yang telah membiarkan perbankan berkembang “liar” tanpa pengawasan. Itulah sebabnya mengapa pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan pemberian BLBI yang “royal” itu untuk “menebus dosa”, meskipun tanpa disadari justru kebijakan ini telah menjadi perangkap baru yang akhirnya “menyandera” kebijakan ekonomi pemerintah secara berkelanjutan. Dewasa ini perbankan Indonesia tidak melancarkan roda perekonomian tetapi justru menjadi penghambat antara lain dalam bentuk subsidi besar-besaran yang sangat memberatkan APBN. Dilaporkan bahwa Rp91 trilyun tercantum dalam pengeluaran untuk membayar bunga dan cicilan obligasi rekapitalisasi perbankan.


Menyiasati Globalisasi

Krismon 1997 dan sampai tingkat tertentu ledakan “bom Bali” adalah “bom waktu” buatan Indonesia sendiri, karena proses liberalisasi dan globalisasi telah dibiarkan berlangsung “kebablasan”, karena kita mengira sistem ekonomi kapitalis liberal (sistem pasar bebas ala Neoklasik ortodok) adalah satu-satunya sistem ekonomi yang cocok untuk dipakai dan diterapkan di Indonesia. Jika kita sadari dan percaya bahwa Pancasila adalah ideologi yang telah menyatukan bangsa hingga mampu membebaskan Indonesia dari 350 tahun penjajahan, maka Pancasila pastilah dapat diandalkan sebagai sumber ideologi untuk menyusun sistem ekonomi nasional Indonesia. Jika perasan Pancasila adalah asas gotong-royong atau asas kekeluargaan, maka tepat sekali bunyi ayat 1 pasal 33 UUD 45 bahwa:

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Dalam asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Sayang sekali ketentuan tentang demokrasi ekonomi dalam penjelasan UUD 1945 kini telah dihapus oleh ST-MPR 2002. Mungkin MPR tidak menyadari telah “mengkhianati” perjuangan para pendiri negara yang melalui pasal 33 UUD 1945 ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demikian “serangan” globalisasi tidak perlu kita takuti selama kita setia menggunakan Pancasila sebagai ideologi pegangan kehidupan bangsa. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik, dan kerakyatan/populis, yang akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Penutup

Jika orang menyatakan globalisasi “tak terelakkan”, hendaknya kita tidak bersikap pasrah dan menerima begitu saja “aturan main” yang dibuat “mereka”. Jika aturan main yang dipakai adalah “sistem Ekonomi Pancasila”, maka aturan main “kita” inilah yang harus kita pakai sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri, dan bukan aturan main “mereka”.

Globalisasi dan globalisme bukan hal dan paham baru bagi Indonesia karena sejak abad-abad awal penjajahan (17-18) rempah-rempah dan komoditi-komoditi pertanian Indonesia sudah “diglobalisasikan” (globalisasi tahap I ). Selanjutnya globalisasi tahap II (sistem taman paksa 1830-1870) dan sistem kapitalis liberal (pasca 1870) lebih jauh lagi “mengglobalkan” komoditi-komoditi pertanian Indonesia (terutama gula dan tembakau) sehingga “Hindia Belanda” menjadi terkenal sebagai sumber komoditi-komoditi tropik ini. Kini pada globalisasi tahap III (sejak medio delapan puluhan) Indonesia yang sudah menjadi negara merdeka tentulah tidak perlu was-was asal berani dan percaya diri dengan kepala tegak menetapkan aturan main “kita” untuk dipakai sebagai pegangan hubungan-hubungan ekonomi “kita” dengan “mereka”. Ilmuwan kita yang memiliki rasa nasionalisme sebaiknya tidak berkata “if you can not beat them, join them”. Sikap kalah sebelum berperang inilah pada umumnya sikap yang kami khawatirkan menghinggapi para penganut paham globalisme dan neoliberalisme.

4 Pebruari 2003

*) Disampaikan pada Seminar Bulanan I PUSTEP-UGM, Yogyakarta 4 Februari 2003.
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini