Senin, 17 Januari 2011

KENDALA SOSIALISASI KONSEP EKONOMI PANCASILA: BEBERAPA CATATAN UNTUK PENGEMBAN EKONOMI PANCASILA

I. PENDAHULUAN

Menjelang abad ke-21 kalangan ekonom, serta orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu ekonomi, dikejutkan oleh pernyataan Paul Ormerod bahwa ilmu ekonomi sudah mati! Ilmu ekonomi yang sudah mati, sebagaimana dimaksudkan oleh Ormerod, tak lain adalah ilmu ekonomi yang ada dan dikenal selama ini, yang lazim berjuluk ilmu ekonomi “konvensional”. Ilmu ekonomi yang diajarkan di sekolah-sekolah ekonomi (sekolah menengah maupun perguruan tinggi) pada umumnya.

Ilmu ekonomi konvensional mungkin belum benar-benar mati. Akan tetapi, setidak-tidaknya ia sudah sekarat. Kesekaratan itu sendiri sesungguhnya sudah sejak lama terasakan, manakala mulai muncul letupan-letupan ketidakpuasan terhadapnya. Bukannya mendatangkan kemakmuran bagi manusia di bumi, sebagaimana janji yang kerap didendangkannya, ilmu ekonomi konvensional justru memperparah kehidupan lapisan masyarakat yang seharusnya ia selamatkan. Alih-alih mengurangi kesenjangan kemakmuran antarnegara di dunia, ilmu ekonomi konvensional justru memperlebar kesenjangan tersebut.

Letupan-letupan ketidakpuasan itu kemudian memunculkan berbagai konsep “ilmu” (setidak-tidaknya sistem, atau kebijakan) ekonomi alternatif. Ekonomika Kelembagaan (institutional economics) yang dikenalkan oleh Kenneth Boulding, Ekonomika Strukturalis (structuralist economics; sering juga dijuluki ekonomika kiri-baru, new-left economics) yang dipopulerkan oleh Raul Prebisch, serta Ekonomika Islami (islamic economics) yang digali dan disyi’arkan oleh ekonom-ekonom muslim, kendati mungkin dianggap baru sebatas wacana, merupakan salah tiga contoh hal itu. Ditambah krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia, setelah jauh sebelumnya dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, ketidakpuasan tersebut semakin keras.



II. EKONOMI PANCASILA

Di Indonesia, ketidakpuasan atas ekonomika konvensional telah memunculkan wacana konsep Ekonomi Pancasila, jauh sebelum negeri ini terserang krisis. Apabila tahun 1980 dapat disepakati sebagai tonggak sejarah [1], sesungguhnya sudah sekitar dua puluh tiga tahun konsep Ekonomi Pancasila dimasyarakatkan. Akan tetapi hingga kini ia belum juga cukup berterima (accepted). Sekali-dua, di sana-sini, datang dan terdengar simpati kalangan tertentu menanggapi tawaran konsep Ekonomi Pancasila. Namun dibandingkan dengan upaya sosialisasinya yang sudah hampir seperempat abad, simpati-simpati yang sporadis itu relatif tidak bermakna (insignificant), nyaris tak terdengar. Konsep Ekonomi Pancasila masih saja belum bisa berterima di negerinya sendiri, bahkan —agaknya— di “rumahnya” sendiri (Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada)!

[1] Tahun ketika (tepatnya pada bulan September 1980, dalam rangka dies natalisnya yang ke-25) FE-UGM sebagai sebuah institusi membahas secara serius konsep Ekonomi Pancasila.

Siapakah (lapisan masyarakat manakah) yang bersimpati pada gagasan/konsep Ekonomi Pancasila? Sementara ini, pada umumnya adalah [semoga jawaban saya keliru!]: (i) orang-orang yang tidak paham betul akan ilmu ekonomi, dan (ii) kalangan masyarakat yang “tercecer” dalam derap kemajuan perekonomian. Instink saya membisikkan, kedua lapisan masyarakat atau kalangan inilah yang bisa dan bersedia “menerima mentah-mentah” gagasan/konsep Ekonomi Pancasila. Kalangan yang pertama dapat menerima karena bagi mereka Ekonomi Pancasila berkesan heroik-populis, mendobrak kemapanan yang ada dan memihak rakyat. Sedangkan kalangan yang kedua dapat menerima, bahkan sangat bergegas akan pelaksanaannya, karena berharap Ekonomi Pancasila akan dapat menjadi penolong keterceceran mereka dalam kancah pergulatan kehidupan ekonomi. Ringkas kalimat, gagasan/konsep Ekonomi Pancasila baru bisa diterima oleh kalangan yang “kurang meyakinkan” (less credible).

Mengapa gagasan/konsep Ekonomi Pancasila masih juga belum bisa berterima secara meluas, belum beroleh tanggapan yang memadai? Pertanyaan-pertanyaan mengusik (disturbing questions) inilah yang hendak saya coba jawab dalam makalah ini. Jawaban-jawaban yang saya lontarkan nanti mungkin sama mengusiknya dengan [atau bahkan lebih menyakitkan daripada] pertanyaan-pertanyaannya itu sendiri. Sekiranya memang demikian, maka saya berharap hal itu dapat menjadi pemicu tekad dan pemacu semangat bagi para pengemban (“pensyi’ar”, “missionaris”) Ekonomi Pancasila untuk lebih giat lagi mengembangkan dan kian gesit pula memasyarakatkan gagasan/konsep dimaksud. Para sejawat pengemban Ekonomi Pancasila di PUSTEP, baik yang di UGM maupun di perguruan tinggi lain — begitu pula pengemban-pengemban perseorangan — perlu memahami berbagai kendala yang dihadapi dalam mengembangkan dan memasyarakatkan gagasan/konsep ini. Pemahaman itu perlu agar tidak merasa taken for granted bahwa Ekonomi Pancasila pasti akan mudah dan mulus berterima karena [1] terlekati kata “Pancasila”; dan [2] memihak kepada rakyat kecil atau masyarakat lapisan bawah (populis, egaliter).

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengusik tadi, marilah kita coba bersama-sama meneropong “kuman di seberang lautan”, kemudian menyingkap “gajah di pelupuk mata”. Dengan perkataan lain, marilah kita inventarisasi kendala-kendala objektif-eksternal yang menyulitkan pemasyarakatan Ekonomi Pancasila. Itu saja belum cukup! Kita juga perlu mengidentifikasi faktor-faktor subjektif-internal yang ada di dalam gagasan/konsep Ekonomi Pancasila itu sendiri, yang menjadi kendala dalam memasarkannya. Bertolak dari “kuman di seberang lautan” dan “gajah di pelupuk mata” itulah kita canangkan ikhtiar untuk mengatasinya.


III. KUMAN DI SEBERANG LAUTAN

Boleh jadi karena keterbukaan atau kerendah-hatian [kerendah-dirian?]-nya, orang Indonesia pada umumnya mempunyai sifat untuk cenderung lebih mempercayai “orang asing” dan lebih bisa menerima sesuatu yang datang dari “luar”. Tidak terkecuali para ekonom Indonesia. Inilah salah satu penyebab eksternal mengapa Ekonomi Pancasila sulit beroleh tanggapan positif dan simpatik secara meluas. Cap “asli, lho!” yang melekat pada Ekonomi Pancasila justru merintangi dirinya sendiri untuk bisa berterima secara meluas (broadly accepted).

Karena tidak pernah mempelajari proses-sejarah terbentuknya sebuah ilmu, banyak ilmuwan tidak memahami asbabun nuzul (asal usul) kelahiran ilmu yang dibidanginya. Hal serupa agaknya terjadi pula pada sebagian besar ekonom Indonesia. Mereka tidak tahu [karena memang lalai terajarkan] bahwa cikal bakal ilmu ekonomi bukanlah ilmu ekonomi an sich sebagaimana selama ini sering diyakini, melainkan ekonomi[ka]-politik (political-economy/mics). Mereka pun tidak tahu bahwa banyak pemikir-utama ilmu ekonomi bukanlah semata-mata ekonom. Akibatnya, banyak ekonom Indonesia mengira persoalan ekonomi semata-mata murni masalah ekonomi, urusan ekonom, dapat dianalisis dan diselesaikan dengan ilmu ekonomi. Konsep Ekonomi Pancasila —yang di dalamnya melekat nuansa non-ekonomi— dianggap bukan urusan ekonom murni, tetapi lebih merupakan urusan politik dan politisi.

Penyebab eksternal yang ketiga juga masih terkait dengan kurang dipahaminya proses-sejarah terbentuknya ilmu ekonomi. Mayoritas pakar ekonomi terperangkap oleh “keyakinan sesat” bahwa ilmu ekonomi bersifat bebas nilai (value free) dan menjagad (universal). Keterbentukan ilmu ekonomi dipercayai tidak dipengaruhi oleh saat ketika dan tempat dimana ia lahir. Akibatnya, ilmu ekonomi diyakini terlekati oleh karakteristik coca-cola, bahwa ilmu ini berlaku bagi “siapa saja, kapan saja, dan dimana saja”. Pendek kata, tidak perlu ada ilmu ekonomi [setidak-tidaknya teori-teori ekonomi tertentu] yang khas atau khusus bagi kalangan masyarakat tertentu atau di tempat tertentu. “Keyakinan sesat” ini turut menyebabkan konsep Ekonomi Pancasila sukar diterima oleh (justru!) para ekonom Indonesia sendiri, karena konsep keilmuan ekonomi yang khusus semacam Ekonomi Pancasila [begitu pula —misalnya— konsep Ekonomi Islami] dipandang mengada-ada.

Penyebab eksternal berikutnya terkait dengan “bias-bias struktural” dalam pengajaran ilmu ekonomi. Muatan-ajar (teaching contents) ilmu ekonomi di Indonesia bersifat tidak berimbang dalam dua hal. Pertama dalam hal mazhab (aliran pemikiran) teoretis keilmuannya, bias ke pemikiran ekonomi klasik (termasuk neo-klasik yang merupakan salah satu variannya). Konsep-teoretis keekonomian Keynesian tidak mendapatkan porsi ajar yang memadai atau berimbang. Pada umumnya mahasiswa hanya dikenalkan pada identitas pendapatan nasional equilibrium ala Keynesian (yakni Y=C+I+G+X-M); motif-motif permintaan uang tunai; dan analisis IS-LM.

Ketidakberimbangan-struktural yang kedua adalah dalam hal media ajar yang dibudayakan. Mahasiswa ekonomi Indonesia —oleh para dosennya— cenderung lebih dibudayakan pada/dengan buku-buku-ajar (text-books), tidak diimbangi dengan buku-bacaan (readings). Budaya ini berakibat pemahaman keilmuan mereka menjadi bias ke penguasaan teknis-mekanis, sementara wawasan keilmuannya terbatas. Sarjana-sarjana ekonomi yang demikian sebenarnya lebih tepat berjuluk “mekanik ekonomi”, bukan ilmuwan ekonomi!

Bias-bias struktural dalam muatan-ajar tersebut merupakan penyebab eksternal keempat yang menyulitkan keberterimaan konsep Ekonomi Pancasila. Ini masih diperparah dengan kenyataan terputusnya pengenalan keekonomian Indonesia antara jenjang sekolah menengah dan pendidikan tinggi ekonomi.

Sebagai rangkuman, inilah kendala-kendala objektif-eksternal yang merintangi pemasyarakatan gagasan/konsep Ekonomi Pancasila:

1. Sifat orang Indonesia yang cenderung lebih percaya pada orang “asing” dan lebih bisa menerima sesuatu yang datang dari “luar”;
2. Kepercayaan berlebihan (over confidence) ekonom pada umumnya yang mengira masalah ekonomi adalah urusan ekonomi an sich (tidak gayut dengan aspek-aspek sosial non-ekonomi), sehingga teori-teori ekonomi yang ada dipercayai cukup andal untuk mengatasi segala masalah ekonomi;
3. Keyakinan sesat mengenai sifat bebas nilai dan universalitas ilmu ekonomi, bahwa teori-teorinya tidak terpengaruh oleh perilaku dan budaya serta pandangan hidup masyarakat dimana teori itu berakar, padahal ilmu ekonomi adalah ilmu sosial (bukan ilmu alam, pula bukan ilmu pasti);
4. Ketidak-berimbangan (bias-bias) struktural dalam muatan-ajar pendidikan ilmu ekonomi di Indonesia:

· bias ke mazhab ekonomi klasik (termasuk neo-klasik), kurang diimbangi dengan cara berpikir mazhab ekonomi Keynesian,

· media-ajar praktis bertumpu pada buku-ajar (text-books), tidak diimbangi dengan buku bacaan (readings); akibatnya para ekonom atau sarjana ekonomi cenderung menjadi “konsultan-tukang” (solusi-solusi yang ditawarkannya teknis-mekanis), bukan menjadi ilmuwan, apalagi cendekiawan,

· terputusnya pengenalan keekonomian Indonesia antara jenjang sekolah menengah dan jenjang pendidikan tinggi.


IV. GAJAH DI PELUPUK MATA

Setelah puas meneropong kuman nun di seberang lautan, sekarang marilah kita singkap gajah di pelupuk mata sendiri. Faktor-faktor internal apa saja yang membuat konsep Ekonomi Pancasila sukar dimasyarakatkan bin sulit dipasarkan.

Salah satu “sex appeal” ilmu ekonomi konvensional [setidak-tidaknya teori-teori yang ada dalam ekonomika konvensional pada umumnya] ialah kemampuan sisi positifnya dalam menerangkan perilaku dan menelaah gejala-gejala. Hal ini berkat kemapanan akademisnya (kemantapan teori, keterukuran dalil-dalil) yang sudah teruji secara ilmiah. Acian-acian (assumptions) yang mendasari teorinya jelas [bahwa —antara lain — para pelaku ekonomi dianggap senantiasa bersikap rasional], sehingga perkecualian atau penyimpangan yang mungkin timbul dapat segera diantisipasi atau dipahami. Kemapanan akademis itulah yang membuatnya memiliki jabaran-jabaran praktis yang berlaku sahih atau dapat diterapkan pada kehidupan nyata, termasuk berupa kebijakan-kebijakan (policies); baik terhadap masing-masing pelaku ekonomi selaku individu (pada tataran mikro), maupun terhadap sekelompok pelaku ekonomi sebagai suatu masyarakat atau sebuah sistem (tataran makro). Dalam konteks inilah Ekonomi Pancasila belum mampu menarik minat.

Ekonomi Pancasila sejauh ini baru berupa sebuah konsep, tegasnya konsep tentang “aturan main” pelaksanaan dan kebijakan perekonomian di Indonesia. Ia belum sampai pada aras teori, konon pula menyentuh aras ilmu. Memang tidak adil (unfair) membandingkan Ekonomi Konvensional yang sudah mencapai aras ilmu dengan Ekonomi Pancasila yang masih pada aras konsep aturan main pelaksanaan dan kebijakan. Namun demikian, aturan main konseptual yang ada [diadakan?] dalam Ekonomi Pancasila itupun —sejauh ini, rasanya— masih terbatas hipotetis-normatif. Aturan-aturan itu belum teruji menjadi tesis, atau setidak-tidaknya dijabarkan sisi positifnya, sehingga bisa diujudkan menjadi ketentuan-ketentuan praktis. Belum terujinya norma-norma yang hipotetis tersebut, atau belum terjabarkannya ketentuan praktis itulah, yang mencuatkan kesan bahwa konsep Ekonomi Pancasila betul-betul baru sekadar gagasan normatif.

Penyebab internal kedua yang menyukarkan pemasyarakatan dan menyulitkan pemasaran konsep Ekonomi Pancasila terletak pada Pancasila itu sendiri! Tidak ada “keraguan ideologis” terhadap Pancasila sebagai falsafah negara Republik Indonesia. Akan tetapi selalu terpendam “trauma politis“ perihal kesejatian praktik Pancasila yang sesungguhnya. Siapa atau lembaga apakah yang diamanati sebagai semacam “Pancasila Watch”, yang memiliki kapasitas dan kredibilitas untuk memelihara kemurnian Pancasila? Lembaga semacam itu selama ini justru diperankan sendiri oleh rezim yang sedang berkuasa. Malang, penyelewengan besar dan kronis Pancasila oleh dua rezim (Soekarno dan Soeharto) telah menimbulkan trauma bagi rakyat. Dalam era reformasi sekarang ini, orang-orang cenderung alergi terhadap Pancasila. Karena terlekati identitas Pancasila, maka konsep Ekonomi Pancasila turut terkena “getah”-nya. Membumikan konsep Ekonomi Pancasila agaknya tidak bisa segera dimulai dengan memasyarakatkan konsep-konsep keekonomiannya, melainkan harus diawali dengan memasyarakatkan-kembali Pancasila itu sendiri.

Itulah kendala-kendala subjektif-internal yang merintangi pemasyarakatan dan menghalangi pemasaran Ekonomi Pancasila, yakni:

1. Muatannya (berupa aturan-aturan main pelaksanaan dan kebijakan ekonomi) masih terlalu hipotetis-normatif, belum teruji menjadi tesis dengan jabaran praktis yang operasional (belum menjadi tesis-positif);
2. Pelekatan identitas Pancasila, di tengah masyarakat yang sedang dilanda gejala “Pancasila-phobia”, justru menjadi perintang besar bagi upaya sosialisasi konsep Ekonomi Pancasila; kalaupun kelak konsep ini semakin sempurna dan teruji andal, bukan mustahil ia akan tetap sulit disosialisasikan — bukan karena muatan keekonomiannya, melainkan justru karena identitas kepancasilaannya.


V. LALU APA?

Kendala-kendala sosialisasi konsep Ekonomi Pancasila, sebagaimana terpapar di atas, saya harapkan dapat menjadi “pengingat” bagi para pengemban Ekonomi Pancasila tentang betapa peliknya upaya memasyarakatkan dan memasarkan konsep dimaksud. Sekadar contoh kasus, ambillah misalnya kendala eksternal yang pertama, yakni sifat orang Indonesia yang cenderung lebih percaya pada orang asing dan lebih bisa menerima sesuatu yang datang dari luar. Bagaimana cara “menembus” kendala ini agar gagasan/konsep Ekonomi Pancasila dapat lebih luas berterima? Siapa yang harus atau mampu melakukannya? Mengatasi satu kendala ini saja jelas merupakan pekerjaan besar dan berat. Belum lagi mengatasi atau menembus kendala-kendala yang lain.

Singkat uraian, dalam mensosialisasikan Ekonomi Pancasila, para pengemban harus memiliki rencana yang terinci dan sistematis. Terinci dan sistematis tentang apa-apa yang harus dikerjakan, mana yang diprioritaskan, siapa mengerjakan apa, bagaimana mengerjakannya, kapan dikerjakan, serta dengan siapa bekerja atau bekerja sama. Para pengemban Ekonomi Pancasila — baik melalui lembaga semacam PUSTEP, apalagi secara perseorangan — jelas mustahil bekerja sendirian, apalagi jika mengingat bahwa sebagian besar kendala justru berada di luar (bersifat eksternal).

Terakhir, semoga prasaran ini — disamping sebagai “pengingat” akan betapa kompleknya tantangan — bermanfaat pula sebagai hint bagi penyusunan program kerja konkret pusat-pusat studi dan lembaga-lembaga pengemban Ekonomi Pancasila.



11 Maret 2003

*) Disampaikan pada Seminar Bulanan II PUSTEP-UGM, Yogyakarta 11 Maret 2003.
Oleh: Drs. Dumairy, MA -- Dosen FE-UGM, Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini