Senin, 17 Januari 2011

ISU-ISU TEORITIK EKONOMI PANCASILA

(1) Pendahuluan

Rekan Profesor (Madya) Sadono Sukirno dari UM (University of Malaya) pada seminar terbatas di PUSTEP tanggal 2 April 2004 memprihatinkan kurang mendalamnya kuliah-kuliah ilmu ekonomi di perguruan-perguruan tinggi Indonesia. Jika di UM ada 5 departemen tentang ilmu ekonomi (1) fEkonomi Statistika, (2) Ekonomi Publik, (3) Ekonomi Terapan, (4) Ekonomi Analitik, dan (5) Pembangunan Perdesaan, maka di Indonesia hanya ada satu jurusan, yaitu Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, disamping Manajemen dan Akuntansi, seperti halnya di Malaysia. Di semua sub-department of economics ini, kuliah-kuliah ekonomi mikro, makro, dan pembangunan diberikan 3 tahun penuh (6 semester), sehingga dapat diajarkan secara induktif-empirik dengan contoh-contoh nyata dari Malaysia sendiri.

Akibat dari kurang mendalamnya pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia ini sangat serius. Sarjana-sarjana ekonomi Indonesia tidak cukup memahami masalah-masalah ekonomi Indonesia sendiri dan tidak terlatih menggunakan teori-teori ekonomi mikro dan makro untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi Indonesia.

[*] Disampaikan dalam Seminar Bulanan Ke-15, PUSTEP-UGM, 6 April 2004.



(2) Teori Ekonomi Dualistik

Fenomena ke-2 yang membedakan ekonomi Indonesia dari ekonomi Malaysia adalah sangat kuatnya dualisme ekonomi Indonesia, seperti ketika diamati J.H Boeke tahun 1910, dan dimantapkan dalam pidato pengukuhan guru besar tahun 1930. Tentang tidak cocoknya teori-teori ekonomi Barat bagi kondisi nyata ekonomi Indonesia ini pernah kami tegaskan dalam pidato pengukuhan Guru Besar kami tahun 1979, sebagai berikut:

(1) Teori Ekonomi Neoklasik yang terbentuk di dunia Barat satu abad yang lalu hanya relevan untuk menganalisis sebagian kecil perekonomian kita, dan tidak relevan bagi sebagian besar yang lain.

(2) Teori Ekonomi Neoklasik (Barat) ini telah tidak begitu berkembang sebagai ilmu di Indonesia tetapi lebih kelihatan berkembang sebagai seni.

Kini, 25 tahun kemudian, “hipotesis” tersebut bertambah kuat dan sejak krismon 1997-1998 menjadi semakin kuat lagi dengan membesarnya peranan sektor ekonomi informal (tabel 1).

(3) Ukuran Pendapatan Per Kapita

Bersama rekan Daniel Bromley dari University of Wisconsin dalam tulisan bersama A Development Alternatif for Indonesia, kami menyatakan bahwa:

...growth in per capita national income is a most deficient indicator of national progress and of full social and economic development (Mubyarto & Bromley, 2002: 46)

Kesimpulan ini penting jika dihadapkan pada kesimpulan umum pakar-pakar ekonomi arus utama akhir-akhir ini, bahwa sejak krismon pendapatan per kapita Indonesia telah turun dari USD 1200 menjadi USD 700, dan kini masih belum kembali ke angka sebelum krisis tahun 1997. Kesimpulan ini jelas menyesatkan dan bertentangan dengan kenaikan kesejahteraan penduduk Propinsi DIY selama 1997 – 2003 sebagaimana ditunjukkan dengan kenaikan nilai tabungan dan jumlah penabung di Bank BRI Propinsi DIY (tabel 2). Salah satu kesalahan prinsipiil adalah menjadikan angka pertumbuhan ekonomi (economic frowth rate) sebagai ukuran tunggal yang dianggap sudah benar dan “mewakili”.

4) Pengangguran dan Kemiskinan

Jika Parpol-parpol dalam Kampanye Pemilu 2004 mengritik pemerintah yang tidak mampu mengatasi pengangguran 40 juta tenaga kerja Indonesia, maka nampak jelas bahwa Parpol-parpol tersebut memang tidak memahami masalah hakiki ekonomi Indonesia. Karena para penganggur yang mendaftar tidak pernah ditanya tentang kehidupannya (miskin atau tidak), maka bagi ekonom Indonesia, tidak seperti di negara industri maju, masalah pengangguran seharusnya tidak merupakan masalah paling utama. Yang benar, kemiskinan adalah masalah yang lebih penting ketimbang masalah pengangguran. Penganggur belum tentu miskin, sedangkan penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan pasti miskin, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang , papan, pendidikan dan kesehatannya.

Demikian lebih tidak benar lagi jika pakar-pakar ekonomi menyatakan bahwa hanya melalui pertumbuhan ekonomi tinggi pengangguran dapat diatasi. Menteri Keuangan baru-baru ini menyatakan hal yang sama yaitu bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak otomatis memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan. Kedua masalah yang disebut terakhir hanya dapat diatasi melalui kebijakan khusus yang bersasaran pada penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Inilah yang dikeluhkan Prof. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, yang merasakan kemandulan ilmu ekonomi (Neoklasik) untuk menganalisis masalah-masalah kelaparan (dan kemiskinan) yang melanda negaranya tahun 1974, yang mengakibatkan 1,5 juta orang meninggal.



(5) Konsumsi vs Investasi

Topik ekonomi makro yang juga keliru diterapkan adalah persamaan Y=C+I+G dengan anggapan dasar bahwa C adalah “buruk” dan tidak produktif, sedang I, yang hanya dapat dilakukan perusahaan-perusahaan besar adalah “baik”, produktif, dan mampu menciptakan kesempatan kerja. Pakar ekonomi konvensional tidak pernah mau mengakui bahwa ekonomi rakyat mampu ber-investasi, bahkan dengan menggunakan modal sendiri atau dapat memperoleh modal melalui (rumah-rumah) pegadaian. Dalam pada itu perbankan atas arahan BI juga membuat kekeliruan dengan selalu menggolongkan kredit kendaraan bermotor sebagai kredit konsumsi, padahal bagi ekonomi rakyat kendaraan bermotor dimanfaatkan sebagai “alat produksi” yang berarti merupakan pengeluaran investasi.
Di Kota Bangun Kabupaten Kutai Kartanegara, penduduk yang bermodal membeli 60 Kijang baru, semuanya untuk dijadikan taksi, mengangkut penumpang “bisnis” dari Balikpapan, Samarinda, dan Kota Bangun P-P. Dengan menyadari ini kiranya Bank Indonesia dan pakar-pakar ekonomi perlu mengkaji ulang berbagai konsep ekonomi konvensional yang termuat mapan di buku-buku teks Barat, tetapi tidak cocok diterapkan pada kenyataan-kenyataan ekonomi rakyat Indonesia yang masih bersifat informal (Mubyarto, 2003: 6).

(6) Kelemahan Teori Ekonomi Neoklasik

Meskipun tidak semua teori ekonomi Neoklasik keliru dan tidak relevan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi Indonesia, namun ada 3 kelemahan mendasar yang harus diperbaiki jika teori ini diharapkan dapat diterapkan di Indonesia. Itulah ekonomi kelembagaan yang memiliki 3 ciri khas, yaitu: (1) kesadaran adanya peranan nilai dan ideologi dalam penelitian sosial, (2) penelitian bersifat holistik (menyeluruh) dan interdisipliner, dan (3) bersifat evolusioner yaitu berciri historikal dan dinamis.[1]

[1] Soderbaum, Peter, Ethics, Ideological Comitment and Social Change, dalam Alan Lewis & Karl – Erik Warneryd (eds), Ethics and Economic Affairs, Routledge 1994.

Perekonomian Indonesia yang pernah dijajah 350 tahun disamping bersifat dualistik juga bersifat “menolak”, dan berusaha “melawan” kekuatan ekonomi dan modal asing yang lama mencengkeramnya. Maka ekonomi Indonesia adalah anti penjajahan (anti-kolonialisme, anti- imperialisme, dan anti-liberalisme) termasuk terhadap kekuatan modal kuat di dalam negeri sendiri yang mulai menancapkan kukunya selama (ekonomi ) Orde Baru 1966-1997 yang liberal.

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi kelembagaan karena mendasarkan pada nilai dan ideologi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 45. Pembukaan UUD 45 berisi tekad bangsa Indonesia untuk merdeka dan bebas dari kekuatan asing, dan melalui kebebasan itu seluruh warga bangsa dapat dicerdaskan dan ditingkatkan kesejahterannya.

Jika buku-buku teks teori ekonomi (Neoklasik) menyatakan bahwa teori ekonomi sama dengan teori harga (price theory), maka jelas bahwa teori ekonomi tidak dapat dipakai untuk menganalisis peristiwa-peristiwa ekonomi di luar pasar. Artinya jika sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat/bangsa Indonesia diselenggarakan secara informal, maka pisau analisis yang tepat bukanlah teori harga atau teori ekonomi pasar tetapi teori ekonomi kelembagaan.


(7) Penutup

Kriteria untuk mengukur manfaat dan relevansi ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial lain di Indonesia adalah ketepatan ilmu-ilmu sosial tersebut jika dipakai untuk menganalisis masalah rendahnya kesejahteraan rata-rata orang Indonesia. Jika dolaporkan bahwa gaji rata-rata pegawai negeri di Indonesia termasuk dosen-dosen PTN hanya 1/20 kali rekan-rekannya di Malaysia, maka ilmu ekonomi harus mampu menyarankan kebijakan ekonomi yang dapat menaikkan kemakmuran atau kesejahteraan rata-rata bangsa Indonesia.

Bahwa kebanyakan pakar ekonomi Indonesia masih lebih percaya pada kemampuan pakar-pakar ekonomi asing misalnya dengan mengundang pakar-pakar ekonomi IMF, hanya memperkuat kesimpulan umum bahwa rasa percaya diri pakar-pakar ekonomi kita memang rendah, dan ini pada gilirannya disebabkan kurang seriusnya pengajaran ekonomi di perguruan-perguruan tinggi kita. Untuk itulah diperlukan pengajaran ilmu ekonomi yang dikembangkan berdasar ajaran-ajaran ekonomi kelembagaan Indonesia, dengan sejauh mungkin memanfaatkan pendekatan-pendekatan induktif-empirik yang dilakukan sendiri oleh dosen-dosen Indonesia.



Yogyakarta, 6 April 2004
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini