Senin, 17 Januari 2011

KOPERASI DAN MITOS MATERIALISME

Pendahuluan

Asumsi dasar yang dianggap universal dari manusia oleh paham ekonomi Neoklasik adalah sifat dasarnya yang homoekonomikus, yang dimanifestasikan dalam bentuk pencarian kepuasan atau keuntungan yang setinggi tingginya secara perorangan. Asumsi tersebut pada akhirnya secara otomatis juga “diberlakukan” bagi manusia Indonesia beserta bangunan ekonominya. Dalam kerangka seperti itu maka ide tentang sistem ekonomi yang tidak individualistik sebagaimana kuat dipesankan dalam pasal 33 UUD 1945 (sebelum diamandemen) menjadi terasa aneh sehingga dianggap layak untuk dirombak. Ide koperasi kemudian bukan hanya terasa aneh melainkan sering dianggap bertentangan dengan sifat dasar manusia Indonesia dalam berekonomi. Benarkah? Makalah ini mencoba melihat seberapa jauh keganjilan terjadi dari ide koperasi, atau barangkali seberapa jauh keganjilan dari asumsi homoekonmikus bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa Timur.



Materialisme dan Koperasi

Koperasi merupakan upaya untuk mengumpulkan kekuatan si kecil yang terserak agar bisa menantang si besar untuk mencapai tujuan ekonominya. Koperasi sebagai politik ekonomi si kecil inilah yang mengilhami tumbuhnya perkumpulan koperasi di negara negara Eropa dan Amerika. Namun sebenbarnya tercatat juga koperasi yang muncul dari kelompok yang mengimani adanya suatu nilai non-ekonomi yang lebih tinggi daripada nilai ekonomi. Tujuan mereka lebih ditekankan kepada tujuan non ekonomi itu. Tipe ini biasanya muncul mengikuti adanya proses industrialisasi yang diikuti dengan perubahan dalam sistem nilai yang terkandung di dalam proses industrialisasi itu. Sistem nilai yang “membonceng” industrialisasi itu dianggap “sekuler” yang oleh karenanya harus diimbangi dengan sistem lain.

Today, such communes are usually created by urban people, radical intelligencia, industrial worker, or people who oppose the existing socio economic system. They have their own vision of what society should be and they set out to create an alternative to an unjust world or simply an escape from such a world. (Dorner, 1977, hal 18)

Dalam semangat inilah kiranya Hatta memberi catatan tentang koperasi Indonesia.

Koperasi yang dikehendaki oleh undang undang dasar kita adalah koperasi sebagai dasar perekonomian. Saya ulangi lagi, sebagai dasar! Bukan koperasi yang dibangun hanya sebagai koreksi terhadap kapitalisme yang diterima sebagai dasar perekonomian negeri, seperti yang didapati di dunia Barat. Koperasi di sana tujuannya untuk memperoleh pembagian yang lebih adil di dalam perekonomian kapitalisme dan untuk mencapai produksi dan perolehan yang lebih rasional. (Hatta, 1984)

Dari kutipan tersebut jelas bahwa koperasi yang dikembangkan dan dimaksudkan di negara negara Barat sejak kelahirannya berbeda dengan koperasi yang dimaksudkan di Indonesia. Di negara negara Barat koperasi dimaksudkan sekedar sebagai cara untuk meminimalisasi dampak buruk dari bekerjanya sistem ekonomi kapitalis. Sedangkan di Indonesia lebih dari itu, koperasi dijadikan sebagai alternatif sistem (dasar perekonomian) untuk mengatur perekonomian. Yang akan dikembangkan bukan hanya lembaga lembaga bisnis koperasi, melainkan lebih dari itu adalah pengaturan ekonomi nasional yang mendasarkan diri pada prinsip prinsip koperasi yaitu kerjasama. Semua itu tentu karena adanya keyakinan bahwa tujuan manusia dalam hidupnya tidaklah pemenuhan kebutuhan materi semata.



Mitos Materialisme

Pada umumnya diyakini bahwa di dunia ini hanya ada dua sistem ekonomi: kapitalisme dan sosialisme. Berbagai pemikiran baru hanya disetujui sebagai “kembangan” (varian) dari kedua sistem ekonomi itu. Kembangan tentang kapitalisme memunculkan kapitalisme yang populis, yang manusiawi dan welfare state, sedangkan kembangan sosialisme memunculkan sosialisme yang bergerak ke demokrasi (sosialisme demokrasi). Dengan kata lain kapitalisme dan sosialisme berada pada dua titik ekstrem sedangkan berbagai sistem yang muncul atau dipikirkan belakangan berada diantara dua ekstrem itu.

Melekatnya keyakinan hanya adanya dua “dunia” itu menyebabkan agak sulit untuk meyakinkan publik akan masih adanya “tempat” bagi ekonomi alternatif. Namun bila dirunut pada falsafah yang mendasari akan ditemukan bahwa baik kapitalisme maupun sosialisme mempunyai akar falsafah yang sama yaitu falsafah barat (Yunani) yang sangat berbeda dengan falsafah Timur. Penelusuran dengan cara ini (Sutrisno PH, 1984) akan membawa kesimpulan bahwa "dua dunia" hanyalah mitos, sehingga adanya dunia lain adalah faktual.

Kesamaan falsafah yang melandasi kapitalisme bisa dilihat dalam gambar 1 (Sutrisno PH, 1982). Kapitalisme melandaskan diri pada falsafah liberalisme, individualisme, rasionalisme atau intelektualisme, materialisme dan humanisme. Dilain pihak sosialisme mempunyai latar belakang kekuatan falsafah sosialisme, organisme, rasionalisme/ intelektualisme, materialisme dan humanisme Rasionalisme adalah ajaran yang lebih menitikberatkan pada peranan rasio atau intelek dan mengabaikan peranan emosi/ perasaan dalam menentukan hakekat kebenaran. Materialisme adalah paham yang menyatakan bahwa hakekat kebenaran adalah sesuatu yang dapat diterima oleh akal dan dapat dibuktikan secara empiris, yaitu dapat diraba, didengar, dirasakan. Sedangkan Humanisme adalah paham yang menyatakan bahwa bagi manusia yang penting adalah kehidupan di dunia ini, hidup sesudah itu adalah diluar jangkauan akal manusia. Semua itu bermuara pada perumusan tujuan ekonomi sebagai meningkatkan pendapatan penduduk (tujuan dunia semata).







Gambar 1. Latar Belakang Filsafat Sosialisme dan Liberalisme

Dengan demikian maka ada kesamaan penting yang harus disadari antara kapitalisme dan sosialisme yaitu bahwa keduanya mendasarkan pada materialisme, rasionalisme dan humanisme. Yang membedakan di antara keduanya hanyalah gerak pendulum (bandul jam) dari cara mewujudkan kekayaan fisik, apakah akan cenderung mengarah ke “bebas” atau “terkendali”, liberal atau etatistik (serba negara). Gerak diantara keduanya akan memunculkan ekonomi campuran, “welfare state” atau “sosdem” yang kesemuanya sebenarnya masih dalam satu induk: materialisme, intelektualisme dan humanisme. Dalam kerangka ini maka perbedaan tajam diantara keduanya akhirnya hanya semacam sebuah mitos. Yang membedakan di antara keduanya hanyalah cara bagaimana kemegahan dunia bisa dipenuhi.



Meninggalkan Mitos Dua Dunia

Berbagai bentuk campuran telah ditawarkan, namun ternyata tidak juga memberikan kepuasan pada sejumlah kalangan. Masih banyak pihak yang secara serius berusaha mencari sistem lain yang sesuai dengan falsafah hidup yang dipakainya yang dianggap lebih etik: ekonomi Pancasila, Ekonomi Islam, Sosialisme Islam dan sebagainya. Seberapa tepatkah sistem alternatif itu untuk diterapkan pada bangsa bangsa Timur seperti Indonesia? Hal ini hanya akan bisa dipahami dengan bertolak dari falsafah dasar yang digunakan kedua sistem “ekstrem” yaitu rasionalisme, materialisme dan humanisme.

Untuk menjawab pertanyaan apakah ada sistem lain yang benar-benar di luar kapitalisme-sosialisme, dan apakah pencarian akan sistem alternatif masuk akal atau tidak, layak atau tidak, sangat tergantung pada keyakinan dan penerimaan akan adanya fakta empirik lain. Harus diakui ada kenyataan empirik yang menunjukkan tidak semua, bahkan sangat besar, bagian manusia di dunia yang meyakini bahwa ada kehidupan lain (dan lanjutan) dari kehidupan dunia ini (bukan humanisme!), bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia tidaklah sekedar materi semata (bukan materialisme!) dan bahwa tidak semua hal bisa dinalar (bukan rasionalisme!), seperti yang diungkapkan oleh Etzioni:

The neoclassical paradigm assume that people have one overarching goal: satisfying of their wants.. were depicted as materialistic. ..... In contrast, my finding is that people have several wants, including the commitment to live up to their moral values, and that these wants cannot neatly ordered or regulated by prices (Etzioni dalam Ekins, 1992, hal. 49)

Keinginan manusia dalam kenyataan empirik tidak hanya terpusat pada kebutuhan materialnya saja melainkan juga pada pemenuhan kebutuhan yang tidak material. Pandangan semacam itu adalah empirik sekaligus merupakan ajaran dari agama-agama besar dan bahkan semua agama yang dianut umat manusia yang umumnya mengajarkan keseimbangan kepentingan hidup di dunia dan di hari akhir. Bahkan banyak yang secara ekstrem mengambil posisi berseberangan dengan paham materialisme, humanisme, rasionalisme. Mereka secara ekstrem mempunyai paham spiritualisme berupa eskapisme, zuhud, atau lari dari kemegahan dunia untuk secara penuh mengabdikan diri dalam alam spiritual.

Falsafah yang “bukan materialisme, humanisme dan rasionalisme” adalah sesuatu yang empirik. Demikian juga secara empirik dari awal kehidupan sampai kini ia diikuti oleh bagian banyak umat manusia, bahkan bagian terbesar umat manusia. Masyarakat semacam itu bahkan secara terus menerus akan mengembangkan misi dan dakwah untuk mengubah paham “sekuler “ itu menjadi lebih bermoral, mengubah dari materialistik ke spiritualistik.

Masyarakat semacam itu bukan hanya kenyataan empirik melainkan juga sekaligus sebuah masyarakat yang dicita citakan. Dalam kaitan ini para penganut agama akan berupaya mewujudkan masyarakat yang tidak materialistis sekalipun lingkungan empiriknya materialistik! Apakah masyarakat seperti itu “sudah masa lalu, kuno, dan oleh karenanya harus ditinggalkan dan dianggap tidak ada? Kalau berbagai agama dan kepercayaan itu semakin menguat pada masa mendatang, atau paling tidak bertahan, maka pikiran kearah ekonomi yang tidak “sekuler” merupakan sebuah keniscayaan. Sebaliknya kalau semua itu mengendur seiring perjalanan waktu, tentu pemikiran atas ekonomi moral merupakan sebuah utopia, atau langkah mundur jauh ke masa lalu yang oleh karenanya patut ditertawakan. Tetapi fakta menunjukkan perkembangan yang tidak pernah surut. Ini menunjukkan bahwa ekonomi etik atau apapun namanya bukanlah sebuah upaya yang “ngaya wara” atau tak punya arti.

Karena “falsafah lain” ternyata memang dianut dan empirik, maka penerapan sistem ekonomi baik sosialisme maupun kapitalisme tidaklah tepat (atau tidak mungkin, tidak boleh!) bagi masyarakat yang falsafahnya berbeda. Masyarakat semacam itu mempunyai perilaku yang memang berbeda sehingga harus diterapkan (atas dasar empirisme) sistem lain yang lebih tepat. Namun bisa pula di tengah-tengah kenyataan materialistik memang harus dibangun sistem alternatif karena memang sistem itulah yang diperintahkan dalam kitab suci atau konstitusi. Untuk mengakomodasi hal ini maka alternatif sistem memang harus dibangun, dan bangunan atas sistem itu dalam kapling yang memang di luar “dua dunia”, sehingga adanya pendulum seperti dalam gambar 2 merupakan sebuah kepastian.







Gambar 2. Falsafah Timur Sebagai Landasan Bagi Sistem Ekonomi Alternatif



Dampak Pengajaran pada Perilaku

Tentang sifat homoekonomikus, kini terdapat dua kelompok penerimaan oleh para ekonom. Pertama adalah kelompok ekonom yang memang haqqul yakin bahwa sifat dasar manusia adalah homoekonomikus. Bagi kelompok ini jelas, semua pemikiran danbangunan ekonomi klasik harus dipertahankan. Kedua kelompok ekonom yang sebenarnya yakin (termasuk dalam perilaku pribadinya) bahwa homoekonomikus bukanlah satu satunya sifat dasar manusia, karena manusia sebenarnya juga bersifat sosial dan religius. Tetapi bukan berarti mereka menanggalkan fikiran klasiknya atas alasan teknis semata. Karena mengubah dari homoekonomikus menjadi homo relijius berdampak besar pada model-model yang telah terpateri dalam otak dan buku-buku teks, maka kelompok ini mengambil jalan tengah. Agar model menjadi sederhana, dan model matematis dan grafis tetap bisa digunakan, maka sifat dasar manusia diasumsikan hanya homoekonomikus. Sebenarnya diyakini bahwa manusia mempunyai sifat dasar mencari kepuasan material dan spiritual, tetapi agar sederhana, diasumsikan hanya serakah. Pandangan ini barangkali bisa dianggap sebuah kemajuan. Tetapi pengasumsian sifat dasar manusia itu tetap berbahaya bagi perkembangan pengajaran dan dampaknya bagi perilaku publik.

Pengajaran ilmu ekonomi neoklasik tidak sekedar membuat para mahasiswa dan pelajar tahu mengenai mekanisme ekonomi dengan asumsi klasiknya.

A Study of the educational effetcs of neoclassical teachings shows that students become more self oriented, just as they may become more rational in their decisions.

Beyond the effects on students are those on the general public. All the prevailing neoclassical approach to moral values tends to debase them. All societies set aside certain areas as ‘sacred’. To make the public think about these sacred areas in cost-benefit terms ‘secularizes’ them, strips them of their moral standing and ultimately causes them to be treated as neoclassicist say they are. (Etzioni dalam Ekins, 1992, hal 3)

Proses pengajaran akan mendorong terjadinya internalisasi dan sosialisasi materi neoklasik sehingga pada akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran. Manusia serakah merupakan kebenaran yang telah diajarkan dan kemudian “merupakan kebenaran yang harus dimanifestasikan dalam perilaku keseharian”. Kecenderungan buruk inilah yang harus menyadarkan kita untuk tidak menyederhanakan pengajaran ekonomi dengan paradigma neoklasik.

Dengan demikian sikap yang “mengakui ketidakserakahan manusia” tetapi (karena alasan praktis) tetap menggunakan alat analisis lama sekedar menunjukkan kemalasan untuk berfikir agak susah dengan menciptakan model-model alternatif. Lebih dari itu sikap tersebut berbahaya bagi perkembangan perilaku publik. Pengajaran selain berfungsi membuat orang tahu juga akan berdampak pada internalisasi nilai sebagaimana diajarkan pada diri seseorang dan secara luas bagi publik.

3 Juni 2003
Oleh: Drs. Hudiyanto -- Dosen FE UMY Yogyakarta, Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini