Senin, 17 Januari 2011

PROSPEK EKONOMI PANCASILA 2005

Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati UUD 1945, terutama belum dapat melaksanakan Pasal 27 ayat (2), Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34. (Moh. Hatta, 1 Juni 1977)



Pendahuluan

Rektor Prof. Sofian Effendi dalam Pidato DIES ke 55 UGM tanggal 20 Desember 2004, 23 kali menyebut Pancasila. Pidatonya sendiri diberi judul Revitalisasi Jati Diri UGM Menghadapi Perubahan Global. Begitu selesai pidato, Prof. Moh. Sadli salah seorang alumnus Fakultas Teknik UGM, yang pensiunan Guru besar FE UI, pernah 2 kali menjadi Menteri Pemerintah Orde Baru, dan pernah menjadi Ketua ISEI, menyindir, “Apakah memang UGM anti globalisasi?” Rektor Sofian Effendi menjawab UGM sangat waspada (cautious).

Kalau saya yang harus menjawab pertanyaan Prof. Sadli, saya pasti menjawab ya! UGM harus bersikap “antiglobalisasi” karena globalisasi dalam sifatnya yang sekarang, yang serakah dan imperialistik, sangat merugikan perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sikap yang sama (“antiglobalisasi”) memang sudah ditunjukkan pula oleh Forum Sosial Dunia (WSF) yang menantang Forum Ekonomi Dunia (WEF) dari negara-negara kaya.

Prof. Joseph Stiglitz yang memberikan kuliah umum tanggal 14 Desember yang lalu di Jakarta, tidak dituduh bersikap antiglobalisasi ketika buku-bukunya tegas-tegas menunjukkan merajalelanya keserakahan negara-negara kaya, yang melalui globalisasi ingin menguasai negara-negara miskin, kadang-kadang dengan sikap-sikap kasar dan terang-terangan



Mazab Bulaksumur (Bulaksumur School of Thought)

Sudah mulai ada sindiran-sindiran atas pencanangan “Mazab Bulaksumur” sebagaimana dideklarasikan dalam pidato Dies Rektor UGM. Kita harus memuji keberanian Rektor Sofian Effendi untuk menyampaikan gagasan “revolusioner” tersebut sebagai pidato Dies. Di masa lalu Prof. Sardjito, Rektor UGM pertama (1949-1961) selalu menyampaikan pidato penting pada upacara Dies yang selanjutnya dijadikan pegangan semua dosen dalam kegiatan-kegiatan akademiknya, dalam pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan mengabdian masyarakat. Misalnya pada pidato Dies berturut-turut tahun 1954 dan 1955 Prof. Sardjito berbicara tentang dasar dan tugas sosial UGM, dalam mengajar, meneliti, dan mengabdikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Setiap dosen UGM harus “ber-Pancasila”, setiap kuliah harus ber-Ketuhanan, supaya kita dapat hidup religius, ber-perikemanusiaan, kebangsaan, demokratis, dan berkeadilan sosial. Para ahli peneliti harus mempunyai pendirian Pancasila. (Mubyarto, 2004: 130).

Dalam “Pemikiran Bulaksumur (Bulaksumur School of Thought)” setiap disiplin ilmu harus dikembangkan ke arah bidang-bidang yang menyentuh kehidupan rakyat, dan tidak mengekor atau sekedar memfotokopi pikiran pakar-pakar dari negara-negara maju. Ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai (value free). Justru ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia harus berisi nilai-nilai sosial budaya masyarakat/bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Contoh yang sangat baik diberikan oleh Prof. Sardjito, yang dokter, bagaimana setiap ilmu harus berusaha menerapkan (sistem) nilai Pancasila.

Buat saya sendiri di Fakultas Kedokteran, mahasiswa baru saya beri syariatnya untuk dapat mengisi Pancasila. Kuliah-kuliah dititikberatkan pada Ketuhanan, dan bagaimana melatih diri mempertebal perasaan persaudaraan dalam keluarga UGM dan hal-hal perikemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial (Mubyarto, 2004: 130).

Prof. Syafii Maarif yang mendapat anugerah HB IX, menyampaikan pidato “Ekonomi Moral”, mengritik ajaran keserakahan sistem ekonomi kapitalis liberal yang telah merusak bangunan bangsa Indonesia

Keserakahan segelintir orang sekarang harus dihentikan, dengan melakukan penegakan hukum, dan sikap tegas pemerintah. Mereka yang serakah sering berlindung di balik Pancasila semata-mata untuk menutupi syahwat kekuasaan sebagai agenda tersembunyi.


Spesialisasi Ekonomi Pancasila

Rektor Sofian Effendi dalam pidato Dies-nya juga mengungkapkan kembali keprihatinan Prof. Sardjito terhadap spesialisasi ilmu yang terlalu dini dan tergesa-gesa, dan kemudian berkembang terlalu jauh. “Spesialisasi cenderung memisah-misahkan orang, bukan mempersatu- kannya”. Jadi kalau begitu apa manfaatnya? Kalau di UGM ketika berdiri (1949) ada Fakultas HESP, yang 6 tahun kemudian menjadi 3 fakultas (Hukum, Ekonomi, dan Sosial-Politik), mengapa sekarang pimpinan ke-3 fakultas ini merasa perlu “membongkar” tembok-tembok fakultas agar sarjana-sarjana lulusannya tidak ‘berkaca-mata kuda”, dan lebih mampu membuat analisis-analisis masalah yang nyata-nyata dihadapi masyarakat?

Dalam kenyataan memang masalah masyarakat bersifat komplek/ majemuk sehingga satu cabang ilmu yang terlalu spesialistis secara sendirian tidak mampu menganalisis dengan benar dan mengambil kesimpulan pemecahan. Contoh konkrit adalah analisis ekonomi yang “menyalahkan” masyarakat Indonesia yang dalam 7 tahun terakhir katanya “lebih suka berkonsumsi dan tidak mau berinvestasi”, sehingga pertumbuhan ekonomi rendah. “Kalau konsumsi terus meningkat sedangkan pendapatan masyarakat rendah, maka tidak ada sisa untuk tabungan. Dengan rendahnya tabungan masyarakat maka tidak ada dana untuk investasi” (Kedaulatan Rakyat, 22 Des 2004).

Kesimpulan analisis ekonomi bahwa orang/masyarakat Indonesia selama 7 tahun terakhir tidak berinvestasi, tetapi terus-menerus meningkat konsumsinya, sebetulnya secara logika jelas salah, dan dalam kenyataan dibantah oleh data-data empirik dari lapangan. Misalnya orang yang menabung di BRI Yogya selama 1997-2003 meningkat 14% pertahun dan nilai tabungannya meningkat 34%. Logika “keblinger” pakar-pakar ekonomi Neoklasik semata-mata disebabkan teori ekonomi yang mereka pelajari hanya mengacu pada model sangat disederhanakan yaitu Y=C+I (dan Y=C+S). Pendapatan Nasional merupakan penjumlahan Konsumsi (C) dan Investasi (I), dan digunakan untuk konsumsi (C) atau ditabung (S).

Angka-angka konsumsi yang dilaporkan terus meningkat ketika tidak ada Investasi (I), jelas tidak mungkin benar karena masyarakat diasumsikan terus- menerus mengkonsumsi stok tanpa produksi barang-barang baru. Kekeliruan fatal dalam analisis terjadi karena rumah tangga/orang-seorang dianggap tidak mampu berinvestasi, padahal dalam kenyataan seluruh pelaku ekonomi rakyat yang kecil-kecil mengadakan investasi dari dana-dana mereka sendiri.

Demikian pakar-pakar ekonomi yang terlalu terspesialisasi telah terperosok ke dalam model-model ekonomi abstrak seperti yang tertulis di buku-buku teks (Barat) tanpa upaya sedikitpun untuk mencocokkan dengan data-data lapangan. Hasilnya, mereka merasa mampu mengadakan prediksi-prediksi masa depan (2005-2009) tetapi data yang dipergunakan untuk meramal bukan data lapangan yang lengkap dan benar. Memang mereka sering mengakui makin pentingnya peranan sektor informal/ekonomi rakyat, tetapi tidak berusaha mencari data-data sektor informal itu langsung ke lapangan. Yang dipergunakan selalu hanyalah data-data sekunder dari BPS atau dari Bank Indonesia yang disusun berdasar model ekonomi makro yang keliru tersebut. Misalnya, sampai sekarang kendaraan bermotor (roda 4 atau roda 2) selalu dianggap barang konsumsi, tidak peduli apakah dalam kenyataan mobil atau sepeda motor yang terjual dipakai untuk kegiatan produktif oleh petani/pedagang/pengojek. Maka jelas salah untuk menyatakan orang Indonesia selama 7 tahun hanya berkonsumsi. Mereka tetap dan bahkan meningkatkan kegiatan produksi yang memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga konsumsi yang meningkat dari masyarakat jelas dipenuhi oleh produksi hasil investasi masyarakat tersebut.


Krisis Ilmu Ekonomi

Jika kita ikuti perdebatan para ekonom konvensional kita tentang prospek ekonomi Indonesia 2005, kita tidak akan menemukan titik-titik kesepakatan tentang sebab-sebab terjadinya “krisis ekonomi” yang telah berjalan 7 tahun ini. Dan karena tidak ada kesepakatan itu maka juga sulit mengenali kebijakan atau langkah-langkah apa yang diperlukan untuk mengatasinya, atau “memulihkan ekonomi” (economic recovery) ke kondisi sebelum krisis. Maka harus diakui bahwa sumber-sumber ketidaksepakatan pakar-pakar ekonomi adalah penggunaan teori ekonomi “asing” yang memang tidak sesuai dengan sistem nilai bangsa Indonesia, dan karenanya juga tidak mampu menemukan fakta-fakta atau kondisi nyata perekonomian Indonesia. Selama pakar-pakar ekonomi kita tidak bersedia melepaskan diri dari belenggu cara berpikir Neoklasik Barat yang “keblinger”, selama itu pula saran-saran kebijakan ekonomi yang dirumuskannya tidak akan mengena. Inilah yang saya maksud dengan krisis ilmu/teori ekonomi, bukan krisis ekonomi.

Itulah tujuan utama pidato “Revitalisasi Jati Diri UGM Menghadapi Perubahan Global”, yang tidak/belum ditanggapi secara tepat oleh pers kita. UGM dalam tahun-tahun mendatang akan merevitalisasi pendidikan Pancasila dan dalam ekonomi berarti Ekonomi Pancasila. Apabila UGM mampu menemukan metode yang tepat merevitalisasi pendidikan Pancasila, maka sebagaimana pada tahap-tahap awal berdirinya, UGM akan menjadi Universitas yang setia pada Pancasila dasar negara, dan yang terus-menerus berusaha menerapkannya pada setiap mata kuliah yang diajarkan. Hanya dengan cara demikian UGM akan dapat dijadikan tumpuan harapan masyarakat/bangsa Indonesia untuk membantu mewujudkan cita-cita nasional keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Kesimpulan

PUSTEP-UGM melihat perekonomian Indonesia 2005 akan lebih baik dibanding kondisi 2004, dengan syarat, pemerintah semakin nyata menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi pasar yang bersifat populis. Karena ada tanda-tanda pemikiran ekonomi pemerintah makin dikuasai atau dikendalikan pemikiran dunia usaha, maka perlu diingatkan adanya bahaya bahwa pengusaha akan bersekongkol dengan pemerintah untuk mengejar keuntungan yang lebih besar melalui kenaikan harga-harga. Adam Smith (1776) pernah memperingatkan:

People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices.



Orang-orang dari bidang usaha yang sama jarang bertemu, tetapi (kalau mereka bertemu) pembicaraan-pembicaraan mereka berakhir dalam bentuk persekongkolan melawan kepentingan umum, atau dalam penemuan cara-cara menaikkan harga-harga.



22 Desember 2004
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini