Senin, 17 Januari 2011

EKONOMI PANCASILA UNTUK MENEBUS DOSA-DOSA EKONOM INDONESIA

1. A basic, if not the basic, function of economic theory is to explain (Boylan & O’Gorman, 1995: 1)



2. Without philosophy science loses its social direction; without science, philosophy ceases to be socially relevant (Katouzian, 1980: 1)



3. Economics is in crisis ... it is a mistake to believe that economic science had been capable of an adequate analysis of – and prescription for – economic problems until there suddenly appeared a seemingly inexplicable crisis! (Katouzian, 1980: 4).



4. It was in thinking about how to tell the story of that evolution that I came to the conclusion that the term neoclassical must die. Modern economics is fundamentally different from neoclassical economics, and if we are to tell the story of modern economics effectively, we must have a term for modern economics that makes that point. (Colander, 2002: 142)



5. Economists like to think of themselves as the physicists of the social sciences and they are. Like physicists they are political animals, in love with conferences and competition. They are hedgedogs not foxes.... They like to colonize other fields the way biology was colonialized after the war by physicists ashamed of making bombs. And economists are approximately as arrogant about their neighboring fields as physicists (Boylan & O’Gorman, 1995: 46)



6. The occasional failures of economies to respond as economic theory predicts occur because the relevant policy-makers either applied the theory badly, or were using out-of-date economics (Keen, 2001:4)



7. Since this textbook rendition of economics is also profoundly boring many students do no more than an introductory course in economics, and instead go on to careers in accountancy, finance or management – in which, nonetheless, many continue to harbour the simplistic notions they were taught many years earlier (Keen, 2001: 5)


Pendahuluan

Masyarakat Indonesia pantas mengeluh karena “krisis ekonomi” tidak kunjung teratasi meskipun telah berlangsung lebih dari 5 tahun. Pakar-pakar ekonomi kita rupanya hampir tidak ada yang merasa bersalah meskipun sebagai ilmuwan banyak diantaranya menjadi ekonom “atas biaya negara”. Karena uang negara atau uang rakyat telah menjadikan mereka tokoh-tokoh ekonom yang dimiliki bangsanya, sulit dimengerti jika mereka tidak memiliki kesadaran dan tanggung jawab atas upaya-upaya mengatasi “krisis ekonomi” yang berkepanjangan ini.[2]

[1] Makalah Untuk Seminar Bulanan ke-6 PUSTEP-UGM, 1 Juli 2003.

[2] Istilah “krisis ekonomi” sendiri sebetulnya tidak tepat karena pertumbuhan ekonomi negatif hanya terjadi 1 tahun, dan tidak merata untuk seluruh daerah di Indonesia, dan inflasi tinggi juga hanya terjadi tahun 1998 saja. Istilah yang lebih tepat adalah “krisis keuangan” atau “krisis perbankan”.

Jika dalam era Orde Baru mulai 1966, teknokrat ekonomi, diangap berhasil “luar biasa” mengatasi krisis ekonomi saat tumbangnya Orde Lama, dengan inflasi 650%, pemilikan devisa mendekati nol, serta kekurangan pangan di mana-mana, maka kini dengan “pengangguran” yang mendekati tingkat “mengerikan”, dan utang-utang pemerintah yang hampir sama besarnya dengan PDB satu tahun, tokh para ekonom masih nampak “bisa tidur nyenyak”. Mengapa demikian? Makalah ini akan menjajagi aneka rupa sebab para ekonom kita nampak “tidak berdaya” menghadapi tantangan ekonomi yang dihadapi bangsanya. Dan yang paling merisaukan justru di antara mereka banyak yang tetap bersemangat “belajar” lagi dari ekonom-ekonom asing yang dianggapnya lebih mampu mencarikan pemecahan masalah-masalah ekonomi kita. Misalnya, dalam kongres ISEI ke XV di Malang tanggal 13-15 Juli 2003 mendatang, diundang ekonom-ekonom asing yang rupanya diharapkan lebih mampu secara ilmiah dan obyektif menemukan obat-obat jitu mengatasi “krisis ekonomi” kita. Menurut mereka masalah ekonomi dan keuangan kita tidak “khas” Indonesia, tetapi sama saja dengan masalah yang dihadapi Thailand, Korea, atau Argentina.


Ekonomi yang Mendekati Ilmu "Agama"

Meskipun belum ada ekonom Indonesia yang berhasil membuktikan ilmu ekonomi bukan lagi ilmu sosial, dalam praktek penerapannya makin banyak ekonom yang merasa kurang gagah jika tidak mampu menyatakan pikirannya dalam model-model matematika. Bahkan sudah mulai ditawarkan ekonofisika yang ingin menunjukkan adanya gejala-gejala ekonomi yang mendekati sifat-sifat alam. Dampak dari perkembangan matematisasi ekonomi jelas yaitu makin ditinggalkannya upaya mengamati faktor-faktor sosial non-ekonomi untuk menerangkan aneka gejala ekonomi. Dengan menggunakan model-model matematika ekonomi dan menggunakan program-program dan model-model kuantitatif dengan bantuan komputer, banyak ekonom sangat percaya pada hasil-hasil perhitungan makroekonomi kuantitatif untuk “meramal” masa depan ekonomi Indonesia. Ini sungguh merisaukan. Jika matematisasi ekonomi sudah cukup merisaukan, kecenderungan yang lebih berbahaya lagi adalah adanya “larangan tersembunyi” untuk berpikir dan bersikap kritis-kreatif terhadap hukum-hukum dan teori ekonomi konvensional yang sudah mapan. Asumsi-asumsi teori ekonomi yang tidak realistis pun, karena didasarkan pada abstraksi manusia ekonomi Barat (homo-ekonomikus), “dilarang” untuk dipertanyakan. Meskipun kini makin banyak ditulis kesadaran ekonom Barat tentang tidak realistisnya asumsi rasionalitas homo ekonomikus, tokh di Indonesia para ekonom tetap bersikukuh tentang “kebenaran” asumsi-asumsi tersebut, sehingga seorang mantan Ketua Umum ISEI berani menyatakan “orang Amerika dan orang Indonesia sama saja, sama-sama homo ekonomikus”.

Saya sangat khawatir bahwa kekhawatiran Colander & Klamer berlaku bagi ekonom Indonesia yang dihasilkan Fakultas-fakultas Ekonomi kita.

The Department of Economics are graduating a generation of idiots savants, brilliant at esoteric mathematics yet innocent of actual economic life (Colander & Klamer, The Making of an economist, 1987: 95)

Kekhawatiran bahwa ilmu ekonomi dianggap sebagai ilmu yang mendekati agama secara sangat meyakinkan ditulis oleh Robert Nelson dalam bukunya “Economics as Religion” (Pennsylvania State, 2001), yang selanjutnya menyatakan Paul Samuelson lebih berhasil sebagai “Nabi” ketimbang sebagai “ekonom”. Akibatnya ekonom Indonesia pun tidak pernah merasa perlu menguasai keahlian khusus memecahkan masalah-masalah ekonomi yang dihadapi bangsanya. Dan Pancasila ideologi bangsa pun yang telah dua kali “menyelamatkan” Indonesia (1945 dan 1966) dianggap “tidak ada apa-apanya”, dan “terlalu naif memikirkan sistem Ekonomi Pancasila”.

Economists did not create their current role in society. They have been following a script prescribed by the broader rituals of the religion of economic progress (Nelson 2001: 332).


Landasan Ekonomi Pancasila

Jika ekonom Indonesia pada umumnya kami anggap “berdosa” telah tidak menunaikan kewajiban sosial dan moralnya sebagai warga masyarakat, maka mereka jelas telah “berdosa” karena “membiarkan” krisis ekonomi berlanjut lebih dari 5 tahun tanpa upaya-upaya nyata yang “khas” Indonesia. Tanpa malu-malu dan dengan biaya mahal mereka mengundang “dokter spesialis IMF” yang dianggap berkemampuan hebat untuk mengatasi masalah ekonomi dan keuangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Setelah 5 tahun gagal membantu memecahkan masalah ekonomi Indonesia, masih saja ada yang percaya untuk memperpanjang praktek kerjanya “sampai berhasil”.

Marilah kita bekerja dengan realitas yang ada. Suara-suara yang menyatakan kapok berhubungan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) adalah suara-suara yang tidak memahami kenyataan. Justru bangsa ini seharusnya malah bersyukur karena di saat-saat krisis ini masih ada IMF yang mau mengulurkan bantuan dan memberi utang. Sulit dibayangkan apa jadinya krisis ekonomi ini tanpa kehadiran bantuan IMF. [3]

[3] Moh. Sadli, “Sedang Terbatuk hingga Hidden Economy”, Kompas, Minggu 19 Januari 2003, hal. 31.

Kekeliruan ekonom Indonesia yang terlalu percaya pada obat-obat ala ekonomi “Neoklasik” Barat sebenarnya sudah sangat jelas. Tokh para ekonom ini masih bersikukuh bahwa yang salah bukan ilmu atau teori ekonomi tetapi sekedar pelaksanaannya. Misalnya mereka justru makin bernafsu meningkatkan liberalisasi ekonomi dan privatisasi BUMN, karena hanya dengan melaksanakan secara total “Washington Consensus” (1989) sebagaimana dianjurkan dokter spesialis IMF, maka “krisis ekonomi Indonesia akan teratasi”. Juga banyak ekonom menganggap Indonesia harus melaksanakan komitmen AFTA dan WTO meskipun tanda-tanda kerugian dan penderitaan petani padi dan petani tebu sudah nampak jelas jika “komitmen” tersebut dilaksanakan. Pemerintah Indonesia masa lalu yang menandatangani komitmen AFTA adalah pemerintah yang tidak mengerti ekonomi rakyatnya, yang tidak peduli pada nasib rakyatnya, karena merasa perlu berpihak pada kepentingan ekonomi para konglomerat yang diharapkan menjadi “wakil” Indonesia dalam era globalisasi. “Harapan” ini setelah terjadi krismon jelas menjadi “harapan kosong”. Meskipun para konglomerat kini sudah berguguran, tetap saja pemerintah tidak berdaya dan tidak menyadari kekeliruannya, karena eks konglomerat ini telah berhasil “menyandera” pemerintah sekarang. Kesediaan pemerintah untuk mengeluarkan obligasi rekapitalisasi perbankan senilai Rp650 trilyun adalah bukti dari ketidakmampuannya untuk membebaskan diri dari “penyanderaan” tersebut. Maka dosa-dosa ekonom Indonesia makin bertambah karena mereka telah memberikan obat-obat mengatasi krisis ekonomi Indonesia berupa resep-resep yang tidak saja tidak menyembuhkan, tetapi malah “makin memperparah kondisi pasien”, ekonomi Indonesia.


Ilmu Ekonomi Positive yang Tidak Realistis endahuluan

Dosen-dosen ekonomi Indonesia juga bersikukuh tidak (mungkin) mengajarkan ilmu atau teori ekonomi normative (das sollen) seperti Ekonomi Pancasila, tetapi hanya “diperbolehkan” mengajarkan ilmu atau teori ekonomi positive (das Sein).[4] Mereka tidak menyadari bahwa ilmu/teori ekonomi positive dari buku-buku teks adalah “positive di Barat” karena contoh-contohnya juga diambil dari dunia Barat, yang seharusnya dianggap ilmu/teori ekonomi normatif bagi kondisi ekonomi masyarakat timur seperti halnya Indonesia. Mereka, dosen-dosen ekonomi, tetap bersikukuh bahwa krisis moneter dan krisis ekonomi sama sekali tidak diakibatkan oleh ilmu/teori ekonomi dan kebijakan yang salah. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan dan strategi “pemulihan” dari kondisi krisis juga tidak membutuhkan teori yang berbeda yaitu teori ekonomi konvensional. Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang rendah (3-4% per tahun) adalah, menurut mereka, “karena investasi yang merosot terutama dari investor asing”, sehingga tahun 2003 dicanangkan sebagai tahun investasi untuk menggairahkan lagi investasi. Yang benar, investasi yang merosot adalah investasi-investasi besar dengan kredit bank termasuk modal asing yang beredar di pasar modal, sedangkan investasi ekonomi rakyat Indonesia telah terus-menerus meningkat. Para ekonom “Neoklasik” konvensional umumnya tidak mau secara jujur mengakui bahwa banyak investasi besar di masa Orde Baru adalah investasi tidak produktif seperti di sektor properti dan di pasar uang dan pasar modal.

[4] Menurut Nassau Senior, perbedaan antara positive economics dan normative economics sangat mudah dipahami yaitu yang pertama berarti analisis ekonomi murni (pure analysis), sedangkan yang kedua nasihat politik (political advice). Jadi keduanya “sah” untuk dipelajari atau diajarkan dalam ilmu ekonomi terapan.

Realistis atau tidaknya sebuah teori ekonomi terkait erat dengan realistis atau tidaknya asumsi-asumsinya, yang pada gilirannya terlihat pada tercapai tidaknya tujuan atau sasaran kebijakan yang diturunkan dari teori-teori itu. Jika teori ekonomi di dasarkan pada asumsi manusia rasional (homo ekonomikus) dan pasar persaingan sempurna, padahal dalam kenyataan petani Indonesia tidak semata-mata berpikir rasional tetapi juga berpikir “emosional-spiritual” dalam kondisi persaingan monopolistik, tentu sasaran yang dirumuskan tidak akan tercapai. Itulah sebabnya kita tidak mungkin mengharapkan tercapainya sasaran-sasaran ekonomi kuantitatif tertentu jika kita sadari bahwa asumsi-asumsi tersebut kita dasarkan pada nilai-nilai non-Indonesia (dari Barat). Oleh sebab itu mutlak diperlukan teori-teori yang didasarkan pada penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia agar kebijakan-kebijakan, strategi, dan program-program yang kita rumuskan lebih realistis dan dapat mencapai sasaran-sasaran yang kita tetapkan.[5]

... not everything that looks like an economic activity is necessarily a part of economics .... Obviously in every society things are produced, distributed, and consumed; but only in modern societies are prices and products, conditions of ownership and work, predominantly shaped by the laws of economic efficiency (Wolfgang Sachs, dalam Ekins & Max-Neef , Real-life Economics, 2001: 6)

[5] Alfred Marshall dalam Principles of Economics (1890) mengutip Gustave Schmoller, menegaskan bahwa metode induktif dan deduktif adalah laksana dua kaki untuk berjalan, keduanya harus dipakai secara bersama-sama.


Positivisme dan Realisme Ekonomi Indonesia

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar yang mengacu pada ideologi Pancasila. Artinya mekanisme bekerjanya (sistem) ekonomi Pancasila didasarkan pada data-data riil ekonomi Indonesia dan tindakan pelaku-pelaku ekonomi yang moralistik, sosio-nasionalistik, dan sosio-demokratik. Ekonomi Pancasila bukanlah ekonomi normative (das sollen) tetapi ekonomi positive (das sein) sekaligus normative, karena menggambarkan secara riil perilaku nyata manusia Indonesia yang merupakan homo socius, homo ethicus, sekaligus homo ekonomikus, dalam sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Ekonomi Pancasila menganut aturan main mekanisme pasar yang moralistik di mana manusia pelaku ekonomi tidak bersikap serakah atas alam benda, tetapi sebagai kalifah atau wakil Tuhan di dunia, yang selalu berusaha menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan badan, pikiran, dan spiritual, di dunia dan akhirat. Dalam perekonomian Pancasila pemilikan manusia atas barang-barang tidak bersifat mutlak sehingga tidak ada bagian masyarakat yang terpaksa hidup miskin dengan mengharapkan belas kasihan dari bagian penduduk lain yang hidup mewah.

Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa batas. (An Nuur: 38);



Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. (Thaahaa: ayat 118);



Dia memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya (Asy Syura: 19);



Allahlah yang menciptakan kamu kemudian memberimu rezeki (Ar Rum: 40)

Merenungkan Firman-firman Allah dalam Al Quran ini menjadi jelas bahwa semangat individualisme dalam kepemilikan aset seperti yang diajarkan dalam teori ekonomi Neoklasik “bertentangan” dengan ajaran agama.

Gambaran ekonomi Pancasila yang moralistik dan theologis bagi sementara “ekonom keblinger” memberikan kesan bahwa sistem ekonomi ini hanya ada di surga, yang tidak ditemukan di dunia nyata. Kesan yang demikian mungkin tidak keliru. Namun melalui penelitian empirik yang mendalam, terutama di perdesaan, gambaran ekonomi “ideal” ini tidak sulit ditemukan karena di desa-desa masih dengan mudah ditemukan kehidupan ekonomi gotong-royong “kooperatif” berdasar kekeluargaan, meskipun unsur-unsur sistem pasar sudah sangat berkembang. Sistem ekonomi pasar di Indonesia tidak harus bersifat liberal dan kapitalistik sebagaimana nampak di kota-kota dengan semangat keserakahan yang tinggi.


Suku Bunga Tinggi Bank Indonesia Tidak Mengerti

People of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices (Adam Smith, 1776: 144)

Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution yang juga salah seorang ketua ISEI menyatakan “tidak mengerti” mengapa perbankan masih menerapkan suku bunga kredit yang tinggi, padahal SBI sudah terus turun. NPL (kredit bermasalah) juga sudah turun. “Menurut teori, tingkat suku bunga sama dengan cost of fund ditambah biaya intermediasi ditambah resiko kredit macet. Sekarang resiko kredit macet sudah turun sekali, cost of fund sudah menurun, masak tingkat suku bunga kredit tidak turun?” (Kompas, 27 Juni 2003: 27)

Jika Anwar Nasution benar-benar tidak mengerti maka yang dilupakan adalah “fatwa” Bapak ilmu ekonomi Adam Smith yang kita kutip di atas, yang artinya pengusaha perbankan, dan pengusaha pada umumnya, tidak pernah dapat diharapkan memikirkan kepentingan umum, justru yang selalu dilakukan adalah bersekongkol (conspiracy) untuk “melawan kepentingan umum atau menemukan cara-cara untuk menaikkan harga”, agar keuntungan mereka meningkat. Bahwa bank-bank kita sebagian terbesar adalah BUMN ternyata instink bisnisnya tidak berbeda dengan sifat-sifat bisnis yang sudah “diramal” oleh Adam Smith 227 tahun yang lalu. Bahwa BI sebagai otoritas moneter menurut Deputi Senior Gubernur “tidak bisa berbuat apa-apa”, hanya mengkonfirmasi thesis kita tentang telah menjadi terlalu liberal-nya sistem ekonomi dan perbankan kita. Akibatnya jelas tujuan Ekonomi Pancasila untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia selalu terhalang. Bahkan dalam kaitan yang sama, Menko Kesra Yusuf Kalla juga memberikan kesan “tidak dapat berbuat apa-apa” menyaksikan ketidakadilan dalam pemberian kredit perbankan. “Pengusaha besar dapat memperoleh kredit besar dengan bunga rendah, pengusaha kecil dan mikro mendapat kredit kecil (dengan susah payah) dengan dikenai bunga tinggi”. Inilah “dosa-dosa” teori ekonomi dan ekonom yang mempercayai dan menerapkannya. Betapapun mereka, para ekonom, memegang kekuasaan yang memiliki wewenang untuk mengatur dan menentukan kebijakan ekonomi dan keuangan yang adil, tokh mereka terpaksa tunduk pada apapun yang dilakukan para pengusaha (besar), meskipun jelas-jelas semuanya mengakibatkan terjadinya ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan sosial. Apabila aturan main Ekonomi Pancasila dijadikan pegangan para pelaku ekonomi termasuk di dunia perbankan, maka pedoman moralnya jelas kekeluargaan, sosio-nasionalistik, dan sosio-demokratik, serta manusia tunduk pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.


Penutup

Economists today are being pushed to accept that they may have to take up the role of religion if they want to understand the full workings of economic systems (Nelson 2001: 206)

Bisa dipahami bahwa akhir-akhir ini makin berkembang pemikiran dan praktek “bank-bank syariah” yang berarti secara serius memasukkan ajaran-ajaran agama Islam dalam praktek-praktek perbankan kapitalis yang telah mengakibatkan krisis moneter dan krisis perbankan, yang sampai 5 tahun tetap belum teratasi. Bahkan upaya pemerintah menyelamatkan perbankan nasional dengan mengeluarkan dana-dana amat besar (obligasi rekap perbankan melebihi 50% PDB), tokh tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhasil, selama ajaran-ajaran agama tidak dipergunakan dalam upaya penyelamatan tersebut.

Di kalangan agama-agama lain (Katolik dan Hindu) juga makin intensif dibahas peranan nilai-nilai agama untuk membendung ajaran-ajaran ekonomi neoliberal yang meluas melalui globalisasi yang makin merajalela.

Yang dapat dilakukan oleh gereja adalah mendidik umat bersama masyarakat agar semakin bersedia melepaskan diri dari keserakahan modernisme, konsumerisme, dan kolonialisme kultural ke arah pemahaman tanggung jawab bersama (Konpernas XIX Komisi PSE-KW I, September 2002).

Nilai-nilai agama kini dianggap banyak orang merupakan satu-satunya cara untuk menantang ajaran-ajaran neoliberal ini karena paham ekonomi kapitalis dari Barat juga telah menyebarluaskan ajaran-ajarannya “melalui dan dengan metode-metode agama”.

The real task of Samuelson’s Economics was of this kind; it was to provide an inspirational vision of human progress guided by science in order to motivate Americans and other people to the necessary religious dedication to the cause of progress. (Nelson 2001: 71).

Ekonomi Pancasila adalah ajaran ekonomi baru yang agamis sekaligus manusiawi, nasionalistik, dan demokratis, untuk menantang kerakusan ajaran Neoliberal yang semakin rakus. Bahwa Depdiknas melalui Dirjen Pendidikan Tinggi memberikan dukungan kuat pada Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM untuk mengembangkan ajaran-ajaran ekonomi Pancasila, membuktikan kebenaran perjuangan moral ini. Ajaran ekonomi Pancasila jelas paralel dengan ajaran Ekonomi Syariah atau ekonomi Islami karena keduanya menekankan pada ajaran moral-spiritual untuk membendung ajaran “agama ekonomi kapitalis Neoliberal”.

1 Juli 2003
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini