Selasa, 18 Januari 2011

Indonesia Terperangkap Neolib

Ichsanuddin Noorsy
Pengamat Ekonomi

Rabu, 3 Juni 2009
Menolak tudingan Indonesia menerapkan ekonomi neoliberal mudah dikatakan. Tapi, penudingnya mudah menyampaikan bukti, misalnya melalui UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal. UU ini menerapkan asas nondiskriminasi antara pelaku usaha asing dan nasional, membebaskan lalu lintas modal dengan segala konsekuensinya, menerapkan nilai tukar mengambang bebas dan lalu lintas devisa bebas, dan sebagainya.

Bukti lain, misalnya, pinjaman siaga dari Bank Dunia, penjualan global medium term notes, pinjaman dari ADB, meliberalkan sektor energi dan industri pertanian, termasuk membenarkan ekspor rotan mentah sehingga banyak perajin rotan yang gulung tikar.

Berdasarkan perjanjian-perjanjian utang luar negeri dengan mitra lembaga-lembaga multilateral, saya konsisten bahwa siapa pun presidennya: neoliberal pemenangnya. Kasus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak era Megawati hingga kenaikan BBM pada Mei 2008, adalah bukti bahwa Indonesia berhasil didikte oleh pasar energi.

Sektor-sektor strategis memang diminta tidak lagi disediakan pemerintah. Neoliberal mengharuskan pemerintah cukup menjadi regulator. Sementara kepemilikan dan pengelolaan berada di tangan swasta.

Kata kaum neolib, yang penting asas manfaat. Buat apa memiliki, tapi tidak bermanfaat, tukas mereka. Kaum neolib enggan melihat BUMN Singapura, RRC, dan Venezuela. Dengan mekanisme pasar, kesejahteraan akan terjadi, tegas keyakinan kaum fundamentalis pasar.

Indonesia sudah terperangkap dalam perjanjian yang mengharuskan berlakunya pasar bebas, liberalnya industri keuangan, dan kewajiban meminimkan peranan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik. Jadi, kemasannya ekonomi kerakyatan, namun berisi ekonomi neoliberal. Konteksnya ekonomi kerakyatan, tapi jangan tanya isi dan konsistensinya dengan gagasan demokrasi ekonomi menurut konstitusi.

Tanpa komitmen pada cita-cita bangsa, keberanian menegakkan harkat, kecerdasan mengelola dan mengantipasi situasi, ketegasan mengambil kebijakan yang benar dan baik, dan kejujuran pada rakyat domestik, kita akan terus berkubang pada miskinnya harga diri bangsa dan negara. Karena itu, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 seharusnya memberikan harapan baru dan mengembuskan angin segar kedaulatan ekonomi. Bukan sekadar pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tidak berkualitas.

Tanpa itu, seperti John Perkins dan Michael Hudson mengatakan, demokrasi politik ditentukan oleh kekuasaan korporasi. Kaum korporasi selalu menjaga dan memelihara posisinya sebagai mitra sejajar dengan pemerintah.

Posisi rakyat, secara normatif konstitusional, adalah pemilik kedaulatan, tapi arahnya ditentukan oleh kekuatan modal. Sehingga, kedaulatan rakyat di bidang politik adalah semu. Tanpa demokrasi ekonomi, kata Bung Karno dan Moh Hatta, kita belum merdeka.

Ke depan, kita butuh kaum patriotis yang berani membela harkat dan martabat bangsa, seperti yang dilakukan Presiden AS Obama, PM Prancis Nicolas Sarkozy, PM Jerman Angela Merkel, PM Inggris Gordon Brown, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, atau Presiden Venezuela Hugo Chavez.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini