Senin, 17 Januari 2011

EKONOMI PANCASILA: DUA TAHUN PUSTEP-UGM

Pendahuluan

Sepanjang tahun 2004 yang merupakan tahun ke-2 kegiatan penuh PUSTEP-UGM, pemikiran konseptual tentang ekonomi Pancasila mengalami beberapa perkembangan menarik. Pertama, mata pelajaran ekonomi Pancasila disambut dan disetujui untuk diajarkan di sekolah-sekolah lanjutan. Guru-guru ekonomi SMA di tiga daerah (Propinsi DIY, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dan Propinsi DKI-Jakarta dan sekitarnya) mengundang staf peneliti PUSTEP menggelar lokakarya untuk membahas berbagai aspek pelaksanaan pelajaran ekonomi Pancasila di sekolah-sekolah mereka. Di kabupaten Nganjuk lokakarya 2 hari (tanggal 23-24 Agustus 2004) bahkan juga mengikutsertakan guru-guru ekonomi SMP karena banyak anak-anak di daerah perdesaan tamatan SMP tidak melanjutkan pendidikan ke SMA, sehingga ada kebutuhan pelajaran ekonomi yang utuh bagi murid-murid SMP. Aspek lain dari lokakarya guru-guru ekonomi SMA adalah munculnya keyakinan bahwa ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berisi data-data empirik dari lapangan di sekitar dan dalam lingkungan murid-murid. Memberikan mata pelajaran Ekonomi Pancasila berarti secara otomatis sudah melaksanakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi).

Perkembangan menarik kedua adalah kemajuan pemikiran tentang ekonomi Pancasila di kalangan staf peneliti. Pada bulan Oktober PUSTEP menerbitkan buku Dawam Rahardjo berisi tulisan kronologis-analitis tentang ekonomi Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila sejak 1965 sampai sekarang. Buku setebal 160 halaman yang dibagi dalam 6 bab ini menguraikan wacana ontologis, tinjauan epistemologis, dan tinjauan aksiologi ekonomi Pancasila. Dawam yang kini memimpin lembaga The International Institute of Islamic Thought Indonesia, secara mantap menunjukkan bahwa jika ekonomi Islam atau ekonomi syariah penting sekali dikembangkan di negara-negara Islam, atau di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka di Indonesia harus diterima dan ditumbuhkembangkan ekonomi Pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia yang Islam maupun yang non-Islam.

Akhirnya, aspek ketiga yang tidak kurang pentingnya adalah analisis “kesalahpahaman” berkepanjangan antara pakar-pakar ekonomi arus utama Indonesia yang menganut ajaran Neoklasik ala Amerika dengan peneliti-peneliti ekonomi Pancasila di PUSTEP tentang pengertian ekonomi populis, ekonomi untuk rakyat banyak. Pakar-pakar ekonomi arus utama tidak pernah menerima pendapat bahwa ekonomi populis yang belakangan diberi nama sebagai sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah mengabaikan ukuran-ukuran efisiensi dalam argumentasinya. Mereka, ekonom arus utama, selalu “menuduh” ekonom Pancasila sebagai pembela-pembela sistem subsidi yang populis dan tidak efisien. Tuduhan-tuduhan yang demikian tidak masuk akal karena “menggebyah-uyah” pengertian subsidi secara keliru dengan menganggap semua bentuk subsidi adalah tidak rasional, tidak efisien. Dalam kenyataan, seperti halnya subsidi terhadap harga BBM di Indonesia, kebijakan ini jelas-jelas bukan kebijakan populis karena manfaatnya justru lebih banyak dinikmati orang-orang kaya, bahkan juga dinikmati perusahaan-perusahaan/industri yang menggunakan BBM tersubsidi. Kenyataan bahwa sejumlah negara industri maju di WTO menolak menghapuskan subsidi yang diberikan pada sejumlah komoditi pertanian hanya memperkuat bukti bahwa pemberian subsidi bukanlah kebijakan irrasional yang ditabukan.

Demikian PUSTEP telah menerbitkan buku kecil “Ekonomi Pasar Populis” untuk menunjukkan kekeliruan anggapan bahwa ekonomi kerakyatan yang populis bertentangan dengan asas sistem ekonomi pasar. Sistem ekonomi pasar secara alamiah berkembang di mana-mana jika tidak dikekang oleh pemerintah. Ini dapat dibuktikan dengan sistem ekonomi Rusia yang sejak 1991 berkembang sebagai sistem ekonomi pasar, dan ekonomi Cina yang sejak 1978 menjadi sistem ekonomi pasar sosialis. Ekonomi Indonesia pernah bersifat “kekiri-kirian” yang dikenal sebagai ekonomi komando pada periode 7 tahun (1959-1966), tetapi pada tingkatan mikro tidak pernah hilang sifatnya sebagai sistem ekonomi pasar yang bebas.

Pengajaran Ekonomi Pancasila di Sekolah Lanjutan

Kesepakatan guru-guru ekonomi SMA untuk mengajarkan (ilmu) ekonomi Pancasila ketika kesepakatan yang demikian belum tercapai di tingkat universitas cukup menarik. Di Fakultas-fakultas Ekonomi, ilmu ekonomi sudah merupakan ilmu spesialistik yang dipelajari secara terpisah dari ilmu-ilmu sosial lain seperti ilmu sosiologi, ilmu hukum, ilmu antropologi, atau ilmu poltik. Ilmu ekonomi Pancasila yang jelas-jelas memadukan analisis ekonomi dengan analisis-analisis Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan, oleh para ekonom arus utama dianggap satu kemunduran karena justru membalikkan spesialisasi itu. Sebaliknya di SMA, lebih-lebih di SMP, ilmu ekonomi masih merupakan bagian dari ilmu pengetahuan sosial (IPS). Di universitas-universitas baru yang sebelumnya bernama IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), belum ada Fakultas Ekonomi, tetapi masih merupakan jurusan ekonomi pada fakultas Ilmu-ilmu Sosial, sehingga pengajaran ekonomi Pancasila lebih mudah diterima dan diberikan.

Penerimaan mata pelajaran ekonomi Pancasila di SMA dipermudah juga oleh pelaksanaan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), yang di beberapa sekolah unggulan sudah dimulai TA 2003, setahun sebelum resmi dilaksanakan di semua sekolah lanjutan. KBK menghendaki pengajaran dengan metode induktif-empirik yaitu keharusan untuk mengkaitkan pengajaran di kelas dengan lingkungan murid sehingga guru harus mengajar sambil mengadakan penelitian (teaching through reseach). Meskipun pelaksanaan KBK secara optimal membutuhkan sarana-prasarana mengajar yang lebih banyak dan lebih baik, dan semangat serta kerja lebih keras dari para guru, namun jika dapat dilaksanakan dengan berhasil jelas menjanjikan hasil belajar yang lebih mencerdaskan.

Usulan silabi ilmu ekonomi dari PUSTEP-UGM yang disederhanakan diterima baik oleh lokakarya guru-guru ekonomi di Yogyakarta, Nganjuk dan DKI-Jakarta. Usulan materi kompetensi dasar (KD) ilmu ekonomi selama 3 tahun (kelas X-XII) adalah sebagai berikut:

Kelas I

(1) Memahami sejarah perekonomian Indonesia dan dunia dari masa ke masa.

(2) Memahami sejarah pemikiran pakar-pakar ekonomi dunia dan pakar-pakar ekonomi Indonesia secara seimbang.

(3) Memahami konsep pasar yang mempertemukan permintaan dan penawaran.

(4) Menganalisis kegiatan ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi, dan pola hubungan antara pelaku-pelaku ekonomi.

(5) Memahami dan melaksanakan pendekatan deduktif dan induktif dalam proses belajar ekonomi.

(6) Memahami konsep sistem Ekonomi Pancasila dan sistem-sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme.

(7) Menganalisis peranan pemerintah dalam mewujudkan sistem ekonomi yang efisien dan adil.



Kelas II

(1) Memahami metode perhitungan pendapatan nasional.

(2) Memahami fakta, sumber, dan cara-cara mengatasi kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran.

(3) Menganalisis peran dan kekuatan ekonomi rakyat dan koperasi dalam perekonomian nasional.

(4) Memahami peranan modal dalam perekonomian rakyat, peran sistem perbankan dan lembaga keuangan mikro.

(5) Memahami sistem keuangan negara, perpajakan, dan sistem anggaran (APBN/APBD).



Kelas III

(1) Memahami pengertian pembangunan nasional dan pembangunan ekonomi.

(2) Menganalisis perdagangan dan kerjasama internasional.

(3) Menganalisis konsep, tujuan, manfaat, dan dampak globalisasi terhadap ekonomi Indonesia.

(4) Memahami peran dan prinsip-prinsip kewiraswastaan (kewirausahaan) dalam pembangunan ekonomi.



Persetujuan guru-guru ekonomi SMA terhadap kurikulum usulan PUSTEP-UGM juga disertai harapan agar PUSTEP-UGM bersama MGMP ekonomi dapat segera menyusun buku teks ekonomi Pancasila yang dapat mulai diuji-cobakan pada TA 2005/2006 khususnya di Propinsi DIY. Dengan mulai dilaksanakannya otonomi daerah dalam bidang pendidikan, setiap daerah terutama pada tingkat propinsi, perlu mengambil prakarsa penyusunan buku-buku teks dan bacaan ekonomi Pancasila bagi daerah masing-masing.

Lokakarya di Yogyakarta (29 Juli 2004), di Nganjuk (23-24 Agustus 2004), dan di Jakarta (12 Oktober 2004), yang seluruhnya melibatkan sekitar 500 orang guru ekonomi SMA, menghasilkan 2 kesimpulan penting: pertama, kurikulum ekonomi (dan lain-lain mata pelajaran) SMA selama ini terlalu berorientasi pada paham ekonomi kapitalis dengan persaingan sempurna (perfect competition) yang sangat tidak sesuai dengan (sistem) ekonomi yang berlaku di Indonesia. Misalnya anjuran untuk mengajarkan topik biaya peluang (opportunity cost), yang belum pernah didengar oleh guru-guru ekonomi SMA pada awal semester I di kelas I, sungguh-sungguh menggelisahkan guru-guru dan diusulkan untuk dihapus. Kedua, pelajaran ekonometri yang merupakan “momok”, termasuk bagi guru, juga diusulkan untuk dihapuskan. Penggunaan matematika dalam ekonomi SMA dianggap belum diperlukan lebih-lebih untuk tujuan peramalan-peramalan.

Akhirnya peserta lokakarya hampir semuanya tercenung mendengar dan membaca sambutan Direktur Pendidikan Menengah Umum Prof. Dr. Zamroni yang menunjukkan ketidaktepatan ilmu ekonomi (Neoklasik) Barat diajarkan pada murid-murid SMA di Indonesia karena didasarkan pada nilai-nilai Barat yang tidak cocok bagi masyarakat Indonesia. Yang menyedihkan adalah mengapa “kekeliruan” ini baru sekarang dinyatakan pejabat tinggi Depdiknas, padahal pengajarannya sudah berlangsung hampir 50 tahun. Sungguh berat tantangan yang dihadapi pendidikan ekonomi di Indonesia. Kita memerlukan perubahan radikal dalam materi dan metode pendidikan ekonomi ketika seluruh sistem dan struktur pendidikan kita tidak memungkinkan terjadinya perubahan itu dengan mudah.


Ekonomi Pancasila vs Ekonomi Kapitalis

Dalam usia 55 tahun, UGM dewasa ini (Desember 2004) sedang mengadakan introspeksi (mawas diri) apakah nilai-nilai luhur yang menjadi jati diri UGM sebagaimana ditanamkan bapak-bapak pendirinya sudah terwujud. Ternyata hasil mawas diri ini sungguh-sungguh membuat “merinding” karena terlihat berbagai “wanti-wanti” telah diabaikan, atau paling sedikit kurang diperhatikan. Misalnya pesan Prof. Sardjito , sebagaimana dituturkan Prof. T. Jacob, kepada Fakultas Ekonomi jelas bahwa,

Kalau kita akan mengajarkan (ilmu) ekonomi, maka kita harus bertanya bagaimana menerapkan Pancasila dalam mata kuliah ekonomi, agar yang kita ajarkan bukan ekonomi kapitalis.

Terhadap pesan yang selugas ini banyak dosen-dosen ekonomi yang sudah amat terpukau oleh ajaran ekonomi Neoklasik ala Amerika “mengangkat bahu”, dan menganggap nasehat tersebut mungkin cocok pada waktu itu (1969), tetapi setelah dunia mencapai kondisi global seperti sekarang jelas “ketinggalan zaman”. Sikap seperti ini juga ditunjukkan para ekonom arus utama terhadap konsep “asas kekeluargaan” yang berasal dari Bung Hatta sebagaimana tercantum pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Mereka biasanya dengan sengit mengatakan asas kekeluargaan sudah “dirusak” paham ekonomi Orde Baru, sehingga menjadi tidak cocok lagi dengan dunia ekonomi kapitalis yang sudah sangat mendunia seperti halnya sekarang. Bahkan tentang ajaran ekonomi koperasi Bung Hatta, mereka secara keblinger mengatakan bahwa “koperasi Skandinavia”, yang dipelajari Bung Hatta ketika masih mahasiswa, lain sekali dengan koperasi yang kini bertahan di Eropa Barat yang bersifat kapitalistik sebagaimana perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan perorangan. “Maka koperasi Indonesia juga harus bersifat usaha kapitalistik tidak perlu berasas kekeluargaan”.

Disadari, bahwa penerapan nilai-nilai Pancasila dalam setiap mata kuliah tidak akan dapat dilaksanakan dengan mudah. Dapat dipastikan akan ada tantangan-tantangan dari dosen-dosen yang sudah terlalu terpengaruh oleh ajaran-ajaran kapitalis-neoliberal yang kini sudah berkembang sebagai paham “konsensus Washington” (1989). Meremehkan hambatan-hambatan potensial seperti ini akan menggagalkan seluruh upaya besar mewujudkan ekonomi Pancasila.

Dalam keluarga besar UGM masih cukup banyak yang belum sepenuhnya memahami makna Pancasila sebagai falsafah dasar bangsa, ideologi dasar negara, maupun sebagai nilai-nilai luhur atau jati diri UGM. Kekurangpahaman terjadi karena tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di UGM yang belum mantap dan tidak ber “jati diri”. Dan sumber serta manifestasi kekeliruan ini ada 2 yaitu pertama, tekanan pendidikan dan pengajaran yang terlalu berlebihan pada aspek intelektual dengan mengabaikan pendidikan kerohanian, dan kedua, spesialisasi ilmu yang terlalu jauh dengan mengabaikan pendekatan interdisipliner. Mengapa pendidikan kerohanian kita abaikan padahal bapak-bapak pendiri UGM dalam tulisan-tulisannya tidak pernah lupa mengingatkannya?

Dalam Statuta UGM ditegaskan 3 tujuan pendidikan yaitu:

(1) Mendidik mahasiswa menjadi orang susila, budiman, berpribadi, dan cakap untuk mengabdi kepada masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya;

(2) Memperkembangkan ilmu pengetahuan, yang juga memberi bahagia, seperti yang dikehendaki oleh nusa dan bangsa khususnya dan oleh dunia umumnya;

(3) Ikut serta memperkembangkan hidup kemasyarakatan dan kebudayaan, dan juga mempertinggi budi luhur.

Untuk mendidik mahasiswa menjadi cakap dan ahli, Universitas dapat memberi pengajaran yang teratur dan tertentu. Akan tetapi untuk membentuk manusia susila, budiman, berpribadi, dan mampu mengamalkan nilai-nilai Pancasila, Universitas sebagai lembaga pendidikan memiliki kemampuan yang terbatas.[1]

[1] Sardjito, Pancasila Sebagai Dasar dan Tugas Sosial UGM, dalam Mubyarto (2004), Pancasila Dasar Negara, UGM, dan Jati Diri Bangsa, hal. 129-130.

Spesialisasi Ilmu Ekonomi ala Amerika yang Terlalu Jauh

Pada saat berdirinya, Fakultas Ekonomi yang berpisah dari Fakultas-fakultas Hukum, dan Sosial-Politik dengan nama fakultas HESP (Hukum, Ekonomi, dan Sosial-Politik), mempunyai 4 jurusan yang menunjukkan spesialisasi yaitu jurusan-jurusan Ekonomi Agraria, Ekonomi Sosiologi, Ekonomi Kenegaraan, dan Ekonomi Perusahaan. Keempat jurusan ini mengalami perkembangan menarik ketika sistem pendidikan ekonomi Amerika mulai diperkenalkan UGM pada tahun 1957.

Pada tahun 1961-1962 jurusan Ekonomi Sosiologi diubah menjadi jurusan Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa, dan bersamaan dengan itu dibuka satu jurusan baru yaitu jurusan Keuangan dan Perbankan menggantikan jurusan Ekonomi Kenegaraan. Pada tahun 1963-1964 dibuka jurusan baru yaitu jurusan Akuntansi. Pada tahun 1965/1966 jurusan Ekonomi Agraria dan jurusan Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa digabung menjadi jurusan Ekonomi Pertanian dan Pembangungan Masyarakat Desa, sehingga pada tahun 1965/1966 Fakultas Ekonomi UGM kembali memiliki 4 jurusan yaitu jurusan Ekonomi Perusahaan, jurusan Akuntansi, jurusan Keuangan dan Perbankan, dan jurusan Pertanian dan Pembangunan Masyarakat Desa. Pada tahun 1970 jurusan Keuangan dan Perbankan diubah menjadi jurusan Ekonomi Umum, sedangkan jurusan Pertanian dan Pembangunan Masyarakat Desa disederhanakan menjadi jurusan Ekonomi Pertanian. Akhirnya pada tahun 1983 sekali lagi terjadi perubahan nama-nama jurusan tersebut hingga menjadi jurusan Manajemen, Akuntansi, dan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) hingga sekarang. Sejak itu jurusan Ekonomi Pertanian ditutup. “Mahasiswa Fakultas Ekonomi tidak perlu mempelajari ekonomi pertanian, kuliah ini biar dipelajari mahasiswa fakultas Pertanian saja”. Kelak disadari bahwa keputusan Dirjen Dikti ini merupakan kekeliruan serius yang bertentangan dengan nilai-nilai atau jati diri UGM.

Sejak dibukanya jurusan Akuntansi pada tahun 1963, peminat Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) makin berkurang. Pada saat mahasiswa harus memilih jurusan pada tahun ke-2, mayoritas mahasiswa memilih jurusan Akuntansi atau Manajemen. Maka untuk menjamin “tetap adanya” mahasiswa yang mengambil jurusan IESP, pembagian jurusan ditetapkan mulai tahun pertama (semester pertama), sehingga mahasiswa baru yang masuk ke Fakultas Ekonomi sejak awal sudah harus memilih salah satu dari 3 jurusan yang ada, dan jurusan IESP “terselamatkan”.

Keuntungan dari penjurusan mulai tahun pertama ini jelas yaitu menjamin tetap adanya mahasiswa yang mengambil jurusan IESP (sebanyak yang mengambil 2 jurusan yang lain), tetapi kerugiannya juga jelas, mahasiswa Jurusan Manajemen dan Akuntansi, mendapat kuliah-kuliah (ilmu) ekonomi yang jauh lebih sedikit dibanding Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Ini pernah dikeluhkan secara serius oleh Mendiknas Malik Fajar dengan menyebutkan bahwa sarjana Jurusan Manajemen dan Akuntasi menjadi sulit disebut sebagai sarjana ekonomi yang “sejajar” dengan sarjana Jurusan ekonomi IESP. Dalam kenyataan memang sulit menyebut sarjana Manajemen dan sarjana Akuntansi sebagai sarjana ekonomi. Sebenarnya mereka pun tidak menuntut untuk disamakan, karena justru sarjana Akuntansi dan sarjana Manajemen “tidak merasa lebih rendah” dibanding sarjana ekonomi dalam pengetahuan ekonominya, meskipun kuliah-kuliah ekonominya jauh lebih sedikit ketimbang jurusan IESP. “Di tempat kerja mereka kelak kuliah-kuliah ekonomi belum tentu terlalu dibutuhkan dibanding kuliah-kuliah Manajemen atau Akuntansi”. Ini merupakah fakta yang “pahit”.

Demikian kiranya jelas bahwa spesialisasi atau penjurusan di Fakultas Ekonomi ternyata tidak didasarkan pada kebutuhan praktis dunia kerja di Indonesia, tetapi karena UGM lebih banyak “meniru” atau “mengekor” spesialisasi yang terjadi di Amerika. Alasan penjurusan yang keliru ini nampak jelas dengan pembubaran jurusan Ekonomi Pertanian di Fakultas Ekonomi pada tahun 1983 sehingga mulai saat itu Jurusan Sosial-ekonomi Pertanian diserahkan penuh ke Fakultas Pertanian. Keputusan ini cukup aneh karena dalam kenyataan Fakultas Ekonomi UGM mempunyai doktor-doktor (Ph.D) dalam ekonomi pertanian (Agricultural Economics) yang jauh lebih banyak dibanding fakultas Pertanian. Banyak sarjana ekonomi kelak harus terlibat pada analisis ekonomi pertanian tetapi mereka tidak disiapkan menghadapi masalah-masalah yang demikian di bangku kuliah.


Ekonomi Pancasila adalah Perekonomian Rakyat Indonesia

Retnowati Abdulgani Knapp penulis buku A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, yang kini (November 2004) sedang menyiapkan buku keduanya tentang Pak Harto, Presiden ke-2 Republik Indonesia, pada peluncuran bukunya tanggal 25 Nopember 2004 di kampus UGM membela pikiran-pikiran ekonomi Pak Harto ketika sebagai Presiden. Retno mengulang dan membenarkan pikiran Pak Harto tentang perlunya “menunda untuk sementara waktu” pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan lebih penting menomorsatukan pertumbuhan ekonomi, karena jika “kue pembangunan yang masih kecil di bagi-bagi sekarang, maka berarti membagi-bagi kemiskinan”.

Apa yang salah pada jalan pikiran yang demikian? Yang jelas salah adalah jalan pikiran bahwa rakyat dianggap sekedar konsumen yang akan “makan” kue pembangunan, dan tidak pernah bisa bertindak sebagai produsen/pembuat kue pembangunan itu. Dengan perkataan lain pembuat kue pembangunan pada pemikiran ekonomi Soeharto hanyalah para pengusaha besar di mana putra-putranya sendiri diberi kesempatan ikut “menyumbang” di dalamnya. Sebenarnya inti ajaran yang diterapkan Soeharto memang merupakan inti ajaran ekonomi Neoklasik Barat yang model ekonominya membagi perekonomian menjadi 2 sektor yaitu ekonomi Rumah Tangga sebagai konsumen dan ekonomi Dunia Usaha sebagai produsen. Penerapan model ini di Indonesia jelas sekali yaitu rakyat Indonesia yang masih miskin harus dipenuhi kebutuhan dasarnya oleh negara yang dibantu perusahaan-perusahaan besar, tidak saja perusahaan-perusahaan nasional, tetapi juga perusahaan-perusahaan asing yang “berbaik hati” membantu membangun ekonomi Indonesia.[2] Maka Retno mengutip pandangan ekonomi Soeharto ini sebagai berikut:

Soeharto fully understood that it had to be the capitalist nations to pour money to develop Indonesia. Being on friendly terms with the capitalists should no longer create threat. The wheel of fortune and the winds of change in the global arena should not leave Indonesia behind. Over 20 years of living with revolutionary ideas was enough. Times had moved on and demanded changes, a new generation was born and they had different needs and dreams. (Retnowati Abdulgani-Knapp, 2003: 233)[3].

[2] Bisa dicatat bunyi Pasal 34 UUD 1945 yaitu “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

[3] Retno Abdulgani-Knapp, 2003, A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, Times Books International, Utopia Press Pte. Ltd., Singapore.

Jelaslah dari kutipan ini bahwa dalam pandangan Soeharto, yang disetujui Retno, ekonomi Indonesia bisa maju dan menjadi lebih kaya karena kapitalis Barat khususnya dari Amerika telah “menggelontorkan” kekayaan dan modalnya ke Indonesia. Tidak disadari bahwa kapitalis asing datang ke Indonesia untuk mencari keuntungan dengan membuka usaha. Kalau mereka dapat untung besar, lebih besar dari keuntungan yang dapat mereka peroleh di negara-negara lain, maka mereka makin tertarik berusaha di Indonesia. Tetapi kalau keuntungan ini berkurang dibanding yang dapat diperoleh di negara-negara tujuan investasi lain (seperti ketika krisis moneter melanda Indonesia 1998-2000), maka dengan serta merta mereka akan memindahkan modal mereka ke negara-negara lain yang “lebih menjanjikan” keuntungan itu.

Jalan pikiran “modern” bahwa sistem kapitalisme adalah sistem ekonomi yang ramah dan sangat membantu pembangunan ekonomi Indonesia, bertolak belakang dengan kenyataan, dan kenyataan ini merupakan inti gerakan kemerdekaan yang dipimpin tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain. Soekarno dalam “Indonesia Menggugat” (1930) tidak tedeng aling-aling menganggap kapitalisme dan imperialisme adalah biang keladi kemelaratan bangsa Indonesia karena pemerintah penjajah Belanda dan kapitalis/pemilik modal Belanda telah mengeruk kekayaan bangsa dan rakyat Indonesia yang diangkut dalam jumlah besar-besaran ke Negeri Belanda. Selama 350 tahun bangsa Belanda memiskinkan rakyat Indonesia melalui 3 sistem ekonomi yaitu sistem monopoli perdagangan (VOC, 1600-1800), sistem tanam paksa (cultuurstelsel, 1830-1870), dan sistem kapitalis liberal (sesudah 1870). Dalam ke-3 sistem ekonomi ini pemerintah bekerja sama erat dengan perusahaan-perusahaan/pedagang-pedagang Belanda mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia termasuk mengeksploitasi petani dan buruh Indonesia.

Orang tidak usah (menjadi) seorang anti kapitalis untuk mengerti betapa bahayanya kapital Barat mengancam penduduk Bumiputera dari suatu tanah jajahan (Soekarno, 1930)[4]



[4] Soekarno, (1930), Indonesia Menggugat, (akan segera diterbitkan kembali oleh PUSTEP-UGM)

Harus diakui masih banyak orang Indonesia benar-benar tidak mengerti, atau tidak mau mengerti, peringatan-peringatan para perintis kemerdekaan tentang kerakusan sistem ekonomi kapitalis-liberal yang telah menjajah Indonesia di masa lalu. Ternyata banyak “orang-orang modern” kita justru menganggap sistem ekonomi kapitalis abad 20-21 sebagai “pembuka peluang” bagi kemajuan perekonomian nasional kita. “Globalisasi tidak mungkin kita lawan, tetapi justru harus kita jadikan kawan” (if we cannot beat them, join them). Inilah pandangan “modern” tetapi “keblinger”, yang mengabaikan sejarah ekonomi-politik penjajahan Indonesia. Jika modal asing kita biarkan “merajalela” seperti halnya sekarang, maka ekonomi Indonesia tidak pernah akan merdeka dan mandiri, dan ini berarti kita mengkhianati ikrar merdeka, yang 7 kali disebut dalam Pembukaan UUD 1945


Sistem Ekonomi Pancasila: Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme

Sudah sejak menjadi polemik nasional tahun 1981, ekonomi Pancasila dicemooh sebagai “ekonomi yang bukan-bukan” karena “bukan kapitalisme tetapi juga bukan sosialisme”. Kebetulan kami temukan sebuah buku menarik karangan Koerniatmanto Soetoprawiro terbitan Kanisius (2003) berjudul persis sama yaitu Bukan kapitalisme Bukan Sosialisme: Memahami Keterlibatan Sosial Gereja. Bersama dengan buku lain dengan judul God and the Economy tulisan Aart Van den Berg (Eburon Publishers, Delft, 1998), kami makin yakin adanya tempat terhormat dari ekonomi Pancasila sebagai paham atau ajaran ekonomi yang ber-Ketuhanan tetapi sekaligus juga ber-perikemanusiaan, ber-kebangsaan, ber-kerakyatan, dan ber-keadilan sosial.

Sistem adalah aturan main, yang mengatur hubungan timbal-balik antara bagian-bagian dari keseluruhan, yang jika aturan main itu berjalan baik dan terpadu akan menghasilkan sesuatu yang baru dan bermanfaat. Misalnya mesin mobil adalah satu sistem yang memadukan bahan bakar dengan api sehingga menghasilkan tenaga yang menggerakkan mesin seperti mesin mobil, dan gerakan mobil itu bermanfaat bagi manusia. Maka sistem ekonomi adalah juga aturan main yang mengatur hubungan timbal-balik koordinatif antara faktor-faktor produksi tanah, modal, dan tenaga manusia, yang kalau semua berjalan dengan baik akan menghasilkan sesuatu, yaitu hasil produksi yang bermanfaat bagi manusia atau makhluk-makhluk hidup lain.

Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan manusia mencakup kebutuhan-kebutuhan fisik, sosial, dan moral. Jika ilmu ekonomi Neoklasik Barat seperti didefinisikan Alfred Marshall (1890) hanya menekankan kebutuhan fisik-materiil saja, maka ilmu ekonomi Indonesia yang mengacu pada ideologi Pancasila menekankan pada kebutuhan ketiga-tiganya, sehingga dalam masyarakat akan terwujud keadilan sosial. Jika dalam ekonomi Neoklasik Barat tujuan berekonomi hanya mencapai efisiensi dalam produksi dan konsumsi barang-barang materiil, dalam masyarakat Pancasila hasil yang dicapai harus memenuhi kriteria efisiensi sekaligus keadilan.

Sistem ekonomi Pancasila adalah aturan main tentang hubungan-hubungan ekonomi yang mengatur hubungan koordinatif antara manusia satu sama lain dalam kehidupan (ber) masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan hidup materiil, sosial, maupun moral. Karena manusia ingin hidup sejahtera dan bahagia, maka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup tersebut diusahakan seimbang dan serasi-selaras di antara ketiganya.

Karena sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa, maka dalam aturan main sistem ekonomi Pancasila, ada peranan Tuhan dalam hubungan-hubungan ekonomi antarmanusia. Dan bagi umat Islam fiman-firman Allah dalam Al Quran dijadikan petunjuk atau pegangan manusia dalam berekonomi. Misalnya:

Allah-lah yang menciptakan kamu kemudian memberimu rezeki (Ar-Ruum: 40).



Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa batas (An Nuur: 38).

Tentang kemahakuasaan Allah mengatur rezeki umat manusia, firman Allah dalam Al Anam menegaskan yang berikut:

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan (rezeki) untuk mereka; sehingga apabila mereka bersuka-ria dengan apa (rezeki) yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (Al Anam: 44)

Dalam agama Kristen, serba kelimpahan rezeki ini juga dinyatakan secara eksplisit di mana-mana:

Much of the Old Testament can almost be read as a celebration of the abundance, which the Divine has provided for His followers. Economics may stress the concept of limited resources but scarcity is not something which usually comes to mind when reading the Bible, despite the efforts of some economists to interpret Old Testament teaching as a solution to the scarcity problems.[5]

[5] Wilson, Rodney, 1997, Economics, Ethics and Religion: Jewish, Christian and Muslim Economic Thought, London, MacMillan Press Ltd., op.cit., hal. 27.

Tentang paham kapitalisme dan sosialisme agama Kristen dan Islam sama-sama menolaknya:

Capitalism is about self-motivation but it cannot accomodate social conscience. Socialism can, but it destroys self-motivation.[6]

[6] Wilson, op.cit., hal. 142

Demikian bangsa Indonesia yang ber-Ketuhanan harus selalu mengkaitkan pendalaman setiap ilmu dan pengembangannya dengan mengacu pada ajaran-ajaran Tuhan. Salah satu ajaran yang kini dapat kita yakini kebenarannya adalah bahwa rezeki atau alat pemenuhan kebutuhan manusia diberikan Tuhan kepada manusia tanpa batas. Ajaran ini bertolak belakang dengan ajaran ekonomi Neoklasik Barat yang selalu menekankan asas keterbatasan alat pemenuhan kebutuhan manusia, sedangkan di pihak lain kebutuhan manusia sendiri dianggap tidak terbatas. Dengan perkataan lain manusia bersikap “serakah” yaitu selalu menginginkan yang lebih daripada yang kurang. Sebagai konsekuensi argumentasi ini, dalam salah satu buku ekonomi SMA dikatakan bahwa “kalau alat untuk memenuhi kebutuhan manusia berlimpah-limpah (tak terbatas), maka ilmu ekonomi tidak diperlukan untuk dipelajari”. Kelemahan argumentasi ini jelas, karena dalam kenyataan barang yang dibutuhkan manusia dapat berlimpah tetapi banyak orang (manusia) tidak memiliki tenaga beli untuk memperolehnya. Untuk dapat menciptakan daya beli bagi mereka yang tidak punya daya beli diperlukan ilmu (politik) ekonomi. Jadi ilmu ekonomi tetap penting untuk dipelajari. Dan pada tahap ini diperlukan ilmu ekonomi yang tidak sekedar mempersoalkan apa dan bagaimana memproduksi tetapi juga untuk siapa, yaitu bagaimana membagi atau mendistribusikan tidak saja secara efisien tetapi juga secara adil.

Dapat kita simpulkan bahwa ilmu ekonomi Neoklasik Barat yang kini diajarkan di mana-mana di seluruh dunia sebenarnya tidak sejalan dengan ajaran-ajaran Tuhan. Itulah yang kini kita saksikan di seluruh dunia. Orang berekonomi dan berbisnis secara berlebihan nyaris tanpa mengenal batas, sedangkan manusia sadar benar bahwa ilmu ekonomi, jika tetap menganggap diri sebagai bagian atau cabang ilmu sosial dan ilmu moral, harus menjaga kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, dan adil bagi semua. Masyarakat Pancasila adalah masyarakat bermoral, yang adil dan makmur, karta-raharja.

Jika kini banyak ilmuwan termotivasi untuk mengkaitkan pemikiran-pemikiran ilmiahnya dengan petunjuk Tuhan, kita tentu mengharapkan ada pemikiran-pemikiran filsafati-Ketuhanan tentang ekonomi khususnya dalam rangka menemukan sistem ekonomi Indonesia yang lebih baik, lebih adil atau lebih bermoral daripada yang kini berlaku. Jika korupsi atau KKN merupakan salah satu sumber utama berkembangnya praktek-praktek ekonomi yang amoral, kita harus berupaya keras menemukan petunjuk-petunjuk Tuhan untuk memperbaiki sistem atau aturan main berekonomi. Kita patut memastikan jangan-jangan ada unsur-unsur dalam ajaran-ajaran ekonomi yang kita pelajari selama ini yang justru dengan sengaja “mengabaikan” ajaran-ajaran moral itu, misalnya ajaran “pengendalian diri” dalam perilaku ekonomi yang sama sekali tidak ada dalam ilmu ekonomi Neoklasik.


Penutup

Membahas sistem ekonomi Pancasila dengan membandingkannya dengan sistem kapitalisme dan sosialisme ternyata dapat mengundang masalah baru. Dalam berbagai forum seminar, mahasiswa “kritis” yang sudah sangat terpukau ajaran-ajaran dari Barat segera mengajukan pertanyaan “menggugat”. Mereka bertanya-tanya jika sistem Kapitalisme dan Sosialisme dapat kita kenali kekuatan dan kelemahannya, apakah dapat kita tunjukkan juga kebaikan/kekuatan atau keburukan/ kelemahan sistem ekonomi Pancasila? Pertanyaan seperti ini jelas menunjukkan kekurangpahaman tentang apa yang dimaksud dengan falsafah dasar atau ideologi suatu bangsa/negara. Jika Pancasila telah kita terima sebagai falsafah dasar atau ideologi bangsa Indonesia, yang telah menjadikan bangsa dan negara Indonesia, maka ia harus kita terima sebagai “yang terbaik” dibanding falsafah dasar atau ideologi tandingannya. Kalau kita masih menemukan kelemahan/keburukan sistem ekonomi Pancasila maka tentulah ia tidak dapat kita terima, dan kita masih harus terus mencari falsafah dasar atau ideologi yang lain yang lebih baik. Mereka yang masih meragukan Pancasila sebagai falsafah dasar atau ideologi bangsa Indonesia pastilah belum meresapi benar makna keseluruhan dari pidato Ir. Soekarno, Lahirnya Pancasila. Pidato di hadapan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 1 Juni 1945, yang disampaikan tanpa teks, adalah benar-benar dasar negara yang diterima sebagai yang terbaik dan paling tepat bagi negara Indonesia yang akan dibentuk, yang kemudian benar-benar diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila ini tanpa disebut sebagai Pancasila, diterima dan dimasukkan sebagai penutup dari Pembukaan UUD 1945. Ini berarti Pancasila yang berisi 5 sila telah diterima penuh sebagai falsafah dasar berdirinya Republik Indonesia, dan orang tidak pernah lagi memikirkan kebaikan/ keburukannya. Yang kemudian terjadi pada saat tumbangnya Orde Lama tahun 1966 dan “berhentinya” Orde Baru tahun 1998 adalah, bahwa Pancasila dasar negara telah dikhianati (Orde Lama) dan telah disimpangkan (Orde Baru) demi keuntungan sebagian/sekelompok warga masyarakat, sekaligus dengan mengabaikan kepentingan kelompok-kelompok lain. Menyalahgunakan atau menyelewengkan Pancasila untuk kepentingan kelompok tertentu dengan mengabaikan kepentingan kelompok lain inilah yang menjadi alasan kuat mengapa kelompok besar yang kepentingannya telah diabaikan tidak mau lagi menyebut Pancasila, karena merasa telah dirugikan atau dikhianati oleh (pelaksanaan atau penerapan) Pancasila itu sendiri.

Maka kesimpulan kita amat jelas, falsafah dasar Pancasila tidak mempunyai kelemahan, tetapi dalam kenyataan hidup bangsa Indonesia telah berulang kali disalahgunakan oleh mereka yang kebetulan berkuasa dan yang mampu memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri.

Perjuangan PUSTEP-UGM berupa kajian-kajian serius melalui seminar-seminar bulanannya, kajian-kajian lapangan di berbagai daerah dan diskusi-diskusi dalam berbagai lokakarya di daerah-daerah, telah membuahkan hasil kongkrit diterimanya mata pelajaran ekonomi Pancasila di sekolah lanjutan. Memasukkan mata pelajaran ini dalam kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK), yang akan diberlakukan di seluruh Indonesia, memang masih membutuhkan waktu. Namun jelas otonomi pendidikan yang makin digalakkan, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, akan terus berproses, yang harus kita laksanakan dengan penuh kehati-hatian.

7 Desember 2004

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukan komentar Anda di sini